Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 15 November 2009

Pemberian Abolisi, Konsekuensi Penegakan Hukum

Persoalan Pimpinan Non aktif KPK Chandra-Bibit, memang sanggat membingungkan publik, terutama bagi masyarakat yang memang tidak faham hukum dan tidak percaya kepada institusi POLRI. hal ini menandakan POLRI melakukan apapun dinilai tidak profesional.

Perkara Chandra-Bibit dianggap sebagai persoalan yang serius, hingga aparat penegak hukum tak kunjung-kunjung menyelesaiakan, hal ini jelas disebabkan adanya desakan dari masyarakat yang menuntut kasus Chandra-Bibit dihentikan karena dinilai Polisi tidak mempunyai bukti yang cukup. Dihentikan boleh saja tapi jangan sampai menghilangkan prosedur hukum yang ada, karena jelas negara kita adalah negara hukum (Rechstaat).

Berdasarakan hasil desakan masyarakat, Presiden membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut kasus tersebut, ini menandakan bahwa memang kasus ini dinilai sebagai persoalan yang serius, bahkan ditengah goncang-gancingnya hasil rekomendasi TPF, Presiden dituntut masyarakat untuk mengeluarkan ABOLISI.

Sebenarnya apa itu Abolisi? “Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut, Presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.”

Kalau disimak dari adanya abolisi ini, jelas bahwa pemberian abolisi menandakan tersangka setidaknya masih ada sangkut-paut dengan persoalan kasus tersebut, saya tidak mengarahkan kepada apa benar Chandra-Bibit melakukan perbuatan tindak pidana? Tapi kenyataanya, ketika abolisi diberikan oleh Presiden maka bisa disimpulkan untuk sementara, kedua tersangka setidaknya ada unsur melakukan tindak pidana yang baru akan diselesaikan oleh prosedur hukum yang berlaku, kemudian dengan munculnya abolisi perkara tersebut dihentikan.

Ini memang pilihan dan tututan masyarakat, yang mana sebelum adanya tutntutan ini, masyarakat menghendaki adanya “Surat Penghentian Penyelidikan Perkara” (SP3) kapan SP3 diberikan? apabila tidak terdapat cukup bukti untuk melanjutkannya, makanya penyidik memngeluarkan SP3. kenapa sampai sekarang masih berjalan? Ini berkaitan dengan adanya upaya Polisi untuk mempertahankan bukti yang dimilikinya, logika hukumnya Polisi tdiak akan mengeluarkan SP3 bilaman bukti ini masih dianggap cukup.

Hal senada juga dilontarkan oleh msayarakat kepada Jaksa untuk mengeluarkan “Deponering,” artinya adanya pembekuan perkara. Suatu kasus dihentikan/ditutup. Deponering merupakan mekanisme yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum. Jaksa agung menghentikan penyelidikan dengan alasan untuk keselamatan Negara.

Tiga komponen hukum diatas adalah benar adanya ketika dikeluarkan, dan kesemuanya memiliki konsekuensi didalam penerapan hukum, sehingga bagi instusi yang mempunyai kewenangan itu jangan samapi dijadikan alat politisasi dalam menyelesaikan perkara hukum khususnya untuk kasus Chandra-Bibit.

Kita inggat dengan kasus pembenuhan Munir pejuang HAM, persoalan itu hampir tidak tuntas pengusutanya, meskipun sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan para terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum, artinya kalau ada good will dari pemerintah hendaknya tindak pidana pembunuhan Munir harus diusut sampai pelaku pembunuhan ditemukan bukan berheti seytelah ada putusan, tapi toh akhirnya setelah ada putusan pengadilan, kasus ini tidak jelas dibawa kemana.

Karena itu untuk kasus Chandra-Bibit, Presiden harus hati-hati mengeluarkan kebijakn yang dimilkinya, yang setidaknya bisa dikatakan dengan dikeluarkannya Abolisi, jangan lupa pada asas Equality befor the law, dengan munguapnya kasus ini, masyarakat sudah semakin tidak percaya lagi dengan penegakan hukum di Negeri ini, terutama dengan polisi yang notabene sebagai penegak hukum untuk mengusut pelanggaran dan tindak pidana.

Sabtu, 07 November 2009

Kewenangan Penyadapan KPK di Cabut??

Menjamurnya praktek korupsi di Indonesia seperti halnya kemacetan lalulintas kota Jakarta yang semakin hari semakin semerawut, polusi yang tidak henti mengrogoti kesehatan, kepenatan, tanpa adanya upaya penanggulangan. Demikian pula dengan kondisi Korupsi, korupsi yang tidak mengenal batas etika, umur, jabatan, tempat, dan batas besar kecil materi. Telah merong-rong Negara dan penindasan terhadap masyarakat.

Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 7 tahun yang lalau berdasarkan legalitas formil Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK sebagai bentuk di kibarkanya perlawan anti korupsi dan penghisapan uang rakyat oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Secara umum praktek korupsi ini dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan yang istimewa di Negeri ini.

Sebelumnya beberapa anggota dewan seperti anggota Komisi III FPDIP Gayus Lumbuun, dan anggota Komisi III FPG Dewi Asmara keberatan terhadap kewenangan penyadapan KPK. Mereka menilai KPK lembaga super visi, akan memunculkan super body, artinya bisa melakukan kewenangan atas nama kekuasaannya itu. Maka perlu ada aturan perundang-undangan soal penyadapan oleh KPK. (4/11, www.inilah.com)

Bahkan Anggota Komisi III DPR dari PDIP Panda Nababan mengusulkan agar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi diamandemen, hal ini cukup menarik, ada salah satu anggota dewan yang mengaku sangat sedih melihat sepak terjang KPK yang sudah menahan puluhan pejabat negara. "Saya sedih banyak pejabat yang dipenjara," ujar anggota dewan itu. Dia mengaku tidak setuju dengan langkah-langkah KPK yang tegas melakukan penindakan. Menurutnya, lebih baik KPK lebih fokus pada upaya pencegahan.

Sanggat disayangkan pendapat para legislator kita ini, mereka kurang begitu faham dan suprem terhadap uapaya pemberantasan korupsi di negeri ini dan saya berfikir mereka ketakutan dengan sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi, berangkat dari pengalaman penanganan kasus korupsi hampir secara besar kasus yang di usut oleh KPK adalah dari kalangan lembaga yang sanggat terhormat, sehingga jelas bahwa ada suatu indikasi ketakutan yang besar akan kewenagan yang dimiliki oleh KPK dalam UU No 30 Tahun 2009 khusunya pasal 6 Jo pasal 12 a.

Padahal kalau kita tahu lembaga yang ada di Malaysia mengenai korupsi yang diberi nama “Badan Pencegah Rasuha” akhir-akhir ini lagi lagi mempelajari sistem, kewenagan, dan mekanisme kerja KPK di Indonesia. Ini terlihat jelas di mata International bahwa KPK mempunyai bergening posisi yang luar biasa.

Kalau benar nantinya kewenagan KPK ini di amandemen hingga pada akhirnya di putuskan misalnya, di batasi maupun di cabut maka KPK akan kehilangan kewibawaannya dan kejantanannya. Kalau sudah seperti ini, buat apa lagi ada KPK mendiding di bubarkan saja dari pada menghabiskan anggaran belanja negara dan menambah beban masyarakat. Lalu mau apa?