Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 25 Juli 2009

Pro Bono dalam Transisi Menuju Perwujudan Jaminan HAM

Negara kita adalah negara hukum (Rechstaat) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (Machstaat), dengan hal ini tentunya kita bisa mempelajari rechstaat melalui pandangan Aristoteles yang merumuskan bahwa “Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya”. Sedangkan menurut Immanuel Kant bahwa “tujuan Negara hukum adalah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu dalam masyarakat”. Immanuel Kant juga memberikan ciri-ciri negara hukum yaitu pertama; adanya pengakuan dan perlindungan HAM, Kedua; Adanya pemisahan kekuasaan. Akan tetapi dalam perkembangannya ciri-ciri bagi negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) telah berkembang dengan pesat dalam tatapelaksanaannya, dimana kalau kita telusuri didalam beberapa literatur yang ada, kita akan menemukan bahwa ciri-ciri suatu negara hukum yaitu; adanya Perlindungan terhadap HAM, adanya pemisahan Kekuasaan, Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum, dan adanya peradilan administratif. Ciri-ciri negara hukum ini terdapat dalam konstitusi, dan tentunya sebuah negara mempunyai konstitusi yang berbeda jenisnya, dalam artian konstitusi secara tertulis (Written constitucy) maupun (unwritten constitucy) dan hal ini tidak menguranggi terhadap ciri dan nilai dari negara hukum tersebut. Dalam perwujudannya suatu negara yang dijalankan oleh pemerintahan, maka Pemerintah sebagai suatu intitas yang tinggi mempunyai tanggung jawab yang besar bagi kehidupan masyarakat untuk mencapai suatu keadilan yang sama dalam kedudukanya tanpa ada diskriminatif (equalty before the law), sehingga dalam konsep HAM bahwa pemangku kewajiban ada didalam pundak pemerintah maka pemerintah harus to protect, to respect dan to fulfilterhadap masyarakat yang dalam kedudukannya sebagai pemangku hak. Dalam mewujudkan atas jaminan-jaminan HAM tidak hanya melalui beberapa instrumen hukum yang dibuat namun bagaimana negara mampu mengimplementasikan cita atas jaminan HAM tersebut.

Pro Bono hak konstitusional

Sanggatlah luas kalau kita membicarakan jaminan HAM, mungkin sekiranya perlu di fokuskan pada persoalan bahwa setiap individu berhak mendapatkan perlindungan dan jaminan HAM di depan hukum tanpa terkecuali (equalty before the law) yang diatur dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 3 ayat (2), dalam International Convenant on Civil Political Right (ICCPR) pasal 14. Hal ini mendasari bahwa perwujudan atas tindakan diskriminatif yang sering muncul ditengah proses perlindungan hukum bagi tersangka/terdakwa pada prinsip asas praduga tidak bersalah (persumption of innocense), dan atas perlindungan anti kekerasan dalam setiap penanganannya.

Perwujudan HAM atas suatu jaminan bantuan hukum secara Cuma-Cuma telah dimulai sejak era tahun 80 an pada waktu pembuatan KUHAP, era 80-an itu sudah ada wacana tentang hak bantuan hokum adalah hak asasi manusia. Sehingga bicara megenai wacana atas bantuan hukum sebenarnya kita melindunggi hak mereka atas penggingkaran negara dalam mewujudkan hak tersebut dan juga memperkecil jarak orang miskin terhadap konstitusi, orang miskin terhadap akses keadilan, orang miskin trhadap ketimpangan terhadap apa yang disebut dengan Fair and Traial.

Seiring perjalanannya hak atas bantuan hukum, sering menjadi persoalan dalam kanca bahwa individu baik saksi, tersangka, terdakwa dalam sistem hukum acara pidana kita mereka dilindungi oleh norma untuk mendapatkan perlindungan atas haknya, dan hal ini bisa kita telusuri dari pasal 50 sampai 68 KUHAP mengenai hak-hak mereka yang harus diperhatikan, bukan dalam artian mereka (saksi, tersangka, terdakwa) hanya diberitahukan atas haknya, melainkan bahwa aparat seharunsnya memberikan perlindungan atas haknya itu tanpa ada pemorkasaan sedemikian rupa, salah satu dari hak itu yang terkait dengan permasalahan ini adalah pasal 56 KUHAP disebutkan bahwa;

“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.

Kalau dicermati bahwa KUHAP mengutamakan prinsip “Due Process of law” dengan memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan sesungguhnya memperoleh bantuan hukum merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan (Accses to justice) bagi mereka yang terkena atau berurusan dengan masalah hukum.

Advocate sebagai officium nobile

Bahwa hak atas bantuan hukum ini merupakan hak yang sudah diatur dalam konstitusi sebagaimana penjelasan diatas, yang kemudian ditindaklanjuti dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokad, yang mana pada pasal 22 ayat (1) yang berbunyi; Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”. Artinya disini bahwa peran advokat juga dituntut untuk mewujudkan suatu jaminan HAM yang dimiliki oleh seorang yang mempunyai masalah hukum, barang kali ini merupakan tugas yang mulia bagi para profesi advokat untuk mewujudkannya, namun perlu dicermati juga bahwa persoalan ini adalah merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan tanggung jawab sebuah negara yang tadi kita sudah singgung bahwa negara adalah pemangku tanggung jawab, dan hal ini secara terang-terangan pemerintah mengalihkan suatu tanggung jawab yang besar kepada advokat untuk mewujudkan hal itu. Dengan dikeluarkannya “PP No. 83 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma” pada tanggal 30 Desember 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kita boleh bangga dan besar hati atas munculnya PP tersebut yang sedikit memberikan harapan bagi orang miskin atas access to justice dan kepastian hukum.

Bahwa UU No 18/2003 dibuat untuk kepentingan dan kemandirian advokat dan bebas dari segala bentuk intervensi oleh pihak lain dalam pelaksanaan tugas officium nobile, sehingga prinsip penegakan hukum dirumuskan sedemikian rupa, dan advokat juga dituntut secara yuridis maupun moral harus bertanggung jawab dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Bukan atas dasar sebuah tanggug jawab negara yang diberikan kepadanya dengan cara pelimpahan secara langusng sedemikian rupa, sehingga menunjukan bahwa negara tidak mampu lagi melaksanakan fungsinya seperti apa yang diamanatkan dalam konstitusi.

Persoalan Pro Bono

Sejak lahirnya KUHAP, yang mengatur menganai hak atas bantun hukum, hingga lahirnya UU No 18 Tahun 2003 dan munculnya PP No. 83 Tahun 2008 masih menuia persoalan, bahwa siapa yang berhak mendapatkan bantun hukum secara Cuma-Cuma (Pro Bono)? apakah yang dinilai kurang mampu atau miskin? Apakah seperti halnya konsep Lembaga Bantuan Hukum pada umumnya, yang menitik beratkan atas pembelaan pada ranah struktural. Dan apakah kasus PIDANA saja yang mendapatkan bantuan hukum, lantas bagamaimana dengan kasus PERDATA?, Hal ini juga belum sempat terselesaikan bagaimana kriteria-kriteria orang tersebut yang berhak mendapatkan bantuan hukum ? apakah mereka yang upahnya dibawah UMK/UMP, ataukah mereka yang tidak mempunyai tempat tinggal? Dan bagaimana pembiyaanya atas penaganan kasus itu, apakah di sediakan melalui APBN atau apa? Karena kita ketahui bahwa dalam sistem peradilan kita tidak terlepas dengan biaya-biaya dalam setiap prosesnya.

Hal ini yang bisa saya sampaikan kepada para pembaca, dan saya yakin bahwa para pembaca mempunyai pandangan yang berbeda dengan saya, maka sudikiranya para pembaca berkeingginan bertukar pikirian lewat media yang saya persiapkan.

Jumat, 24 Juli 2009

Keadilan tidak ada dalam Kertas


Setiap perilaku sosial selalu diawasi, dilindungi, dan diatur oleh sebuah norma sosial, norma susila, dan norma hukum. berbicara pada "norma hukum" perlu diketahui bahwa setiap produk Undang-Undang yang ada tidak semuanya dalam barisan syair-syairnya, pasal-per pasal itu menggakomodir semua tindakan sosial.

Tentunya hal ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dan nilai keadilan di masyarakat, dan kerap kali hal ini "hukum selalu dipaksakan untuk berjalan", sehingga muncul sebuah tindakan sewenang-sewenang (eigenrichting).

Di sinilah diperlukan sebuah nilai-nilai yang mampu menjawab persoalan itu, karena tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan mengunakan norma yang positifistik. tentunya para pembaca mempunyai prespektif yang berbeda oleh sebab itu, saya mengharapkan sumbangsihnya untuk berdealektik dalam blogspot ini sebagai eksistensi saya dalam mencari keadilan.!