Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 17 Desember 2009

“Dualisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”

Perkembanagan ekonomi syariah di Indonesia sudah sanggat pesat, perkembangan ekonomi syariah ini menjalar kepada Bank-bank ternama, misalnya yang tadinya Bank-bank ini tidak menggunakan sistem syariah, mulai berduyung-duyung untuk mengunakan sistem tersebut sepertihalnya Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Mandiri Syariah, dan banyak lainnya, hal ini berimplikasi hukum apabila terjadi sengketa diantara nasabah dan Bank, yang nantinya dihadapkan dengan pertanyaan persoalan sengkeya ekonomi syariah ini dibawah kemekanisme hukum yang mana? MUI pernah mengeluarkan fatwa dibidang ekonomi syaria’ah yang menyatakan “Apabila ada sengketa dibidang ekonomi syariah penyelesaiannya dibawa ke Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Basyarnas.

Berkaitan dengan fatwa MUI itu, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulunya hanya berwenang menangani kasus-kasus hukum keluarga seperti nikah, waris/washiat dan wakaf, setelah direfisi menjadi UU No 3 tahun 2006 Peradilan Agama mempunyai kewenangan meluas ke wilayah ekonomi syariah, Pasal 49 dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: Bank syariah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasurasi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syari’ah, Pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. Oleh karenanya dalam pasal 46 i mengatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama diantara orang Islam di bidang ekonomi syari`ah.

Adanya, fatwa MUI dan lahirnya Arbitrase Syariah atau Basyarnas yang lebih dulu ada dibandingkan dengan UU 3 Tahun 2006 hasil Revisi UU 7 tahun 1989, mengenai masalah penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syariah, tentunya akan membingungkan dan mempersulit masyarakat untuk membawa sengketanya?

Oleh karennya. Bapak Ahmad Djauhari Sekertaris Basyarnas, menjelsakan; Adanya persepsi mengenai dualisme pengaturan penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syariah itu perlu diluruskan, pertama; Bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdata, peraturan perundang-undangan membenarkan dengan dua cara, pertama; Melalui peradilan yang disediakan oleh Negara, seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), untuk PA termasuk pengadilan khusus dengan asas personalitas keislaman, maka peradilan agama baru pada tahun 2006 melalui UU Nomer 3 tahun 2006 mendapatkan tambahan wewenang menyelsaiakan sengketa ekonomi syariah.

Melalui UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 56 ayat (2) memberikan kesempatan bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya dapat mengunakan Arbitrase, dengan catatan para pihaknya harus sepakat secara tertulis untuk menyelesaikan sengketanya dengan sistem arbitrase, sehingga pengadilan menjadi tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan.pilihan hukum, bisa mengunakan hukum islam, perdata barat, hukum anglo saxon, terserah kepada para pihaknya, disitulah untuk sengketa-sengketa ekonomi syariah wajar, logis dan katakan wajib menyelesaiakannya dengan syaraiah pula.

Sebelum UU 3 tahun 2006, Basyarnas sudah berdiri sejak 21 Oktober 1993, dan dulu arbitrase diatur oleh Rechtvordering pasal 615-651 tentang sistem Arbitrase, sistem ini memang dari awal sudah memberikan pilihan hukum, yang dirumuskan didalam pasal 56 ayat (2). Jadi adanya Pengadilan Agama yang mendapatkan tambahan wewenang memeriksa sengketa ekonomi syariah bukan berarti saingan buat Basyarnas, “itu hanya sebagai teman berfikir, bahkan sebagai Fastabiqul Khoirot,” ungkap sekertaris Basyarnas.

Dalam rangka menegakkan syaraiat Allah, kenapa dulu orang tidak meributkan mengenai Badan Arbitrase Nasional Iindonesia (BANI), dengan adanya Pengadilan Agama yang mempuyai kewenangan, memeriksa dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, kemudian itu dijadikan saingan bagi Basyarnas, ini tidak adil kalau ada fikiran semacam itu. Makanya Bagi para pelaku bisnis, perlu mengetahui perbedaan yang sanggat signifikan dalam menyelesaiakan sengketa lewat Arbitrase, misalanya proses persidangan di Basyarnas yang sederhana, tertutup untuk umum, rahasia-rahasia dagang tidak diobral keluar, simpel tidak terlalu formalitas seperti di PN maupun PA, kemudian di Basyarnas selalu mengutamakan penyelesaian dengan prisnsip islah (Mendamaikan) itu prinsip yang diutamakan,

Mengenai putusan Basyarnas, itu bersifat final dan mengikat, sementara putusan PN ataupun PA tidak, karena masih ada upaya hukum seperti; Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, dari segi efesiensi penyelesaian sengketa melalui Arbitrase paling lama 180 hari sudah harus putus, dan dari segi ekonomi bisa dihitung sendiri. Untuk hal apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan dengan sukarela, putusan Basyarnas dapat dimohonkan ke Penadilan sesuai dengan surat ederan Mahkamh Agung Nomor 8 tahun 2008 menetapkan “putusan Arbitrase Syariah pelaksanaan eksekusinya melalui Peradilan Agama.”

Bapak Ahmad Djauhari menjelsakan, kenapa DSN (Dewan Syariah Nasioanal) membuat fatwa dibidang ekonomi sayariah? Wajar karena MUI tentu inggin mengarahkan penyelesaian sengketa orang islam juga secara syar’i, tidak boleh MUI menjerumuskan para pelaku ekonomi ketempat lain, ”Kalau anda ada sengketa, silakan anda ke Basyarnas saja,” karena itu lebih efesien dari segi waktu dan sebagainya. Dan tidak hanya saja penyelesain sengkta melalui basyarnas ini dinikmati oleh para orang islan, non muslimpun bisa dengan prisnsip asas kebebasan berkontrak, artinya orang non muslim tadi dengan sukarela menundukan dirinya kepada hukum atau syariat islam, jadi disini berlaku teori penundukan diri terhadap hukum.

Rahayu Hartini, S.H, M.SI., M.Hum Dosen FH UMM, yang sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga. Mempunyai pandangan tersendiri, saya melihatnya ada pertentangan mengenai fatwa MUI tersebut, karena dalam Pasal 49 huruf i UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Seyogyanya MUI dalam mengeluarkan Fatwanya, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah, setelah UU No. 3 Tahun 2006 disahkan merujuk kepada UU tersebut. Bukan malah mengeluarkan fatwa setelah tiga hari UU tersebut disahkan, MUI mengeluarkan ada empat fatwa yang isinya bila ada sengketa ekonomi syariah dibawa ke Basyarnas. Karena untuk membawa sengketa syariah ke Basyarnas syaratnya harus ada “aqad” yang memperjanjikan untuk itu, hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang APS dan Arbitrase.

Adanya dualisme kewenangan, antara Peradilan Agama sebagaimana ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 49 huruf i, bahkan juga menjadi kewenangan Peradilan Umum seperti yang diatur dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bila itu menyangkut sengketa terkait dengan bank syariah, demikian juga dengan Fatwa MUI yang menyatakan diselesaikan ke Basyarnas. sehingga ke tiga UU tersebut yang mengatur kewenangan penyelesaian sengketa, tidak sinkron, sehingga harmonisasi perlu segera dilakukan agar tidak terjadi dualisme kewenangan lagi.

Logika hukumnya, apabila ada sengketa, harus dilihat apakah ada ”aqad yang isinya memperjanjikan, bila ada sengketa di selesaikan melalui Basyarnas atau tidak?” Bila dalam aqadnya menunjuk Basyarnas, maka para pihak harus mematuhi ”aqad yang telah dibuat dan disepakati.” Tetapi apabila ”tidak ada aqad yang demikian” maka para pihak bisa membawanya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 jo. Pasal 55 Ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Prinsipnya demikian,

Terhadap UU No. 21 Tahun 2008 ini juga masih perlu dikaji lagi, khususnya Pasal 55 Ayat (2). Dalam penjelasannya justru tidak membuat Ayat (2) tersebut menjadi jelas tetapi malah rancu, ambigu, terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa khususnya perbankan syariah antara Pengadilan Agama (Pasal 49 huruf (i) UU No 3 Tahun 2006 dengan Peradilan Umum / Pengadilan Negeri (penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf (d) UU No. 21 Tahun 2008.

Jadi memang pada prinsipnya penyelesaian sengketa melalui Basyarnas, harus didahului adanya suatu perjanjian terlebih dahulu yang disebut dengan ”klausul arbitrase”. Perjanjian tersebut bisa dibuat sejak awal mereka mengadakan hubungan hukum (acta compromi) atau baru disepakati ketika terjadi sengketa diantara para pihak (pactum de compromittendo).

Penyelesaian sengketa di Basyarnas adalah merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi. Sementara penyelesaian sengketa di PA adalah secara legal formal-litigasi. Keduanya sebenarnya tidak jauh berbeda dalam proses beracaranya maupun putusannya, karena mempunyai kekuatan hukum yang sama, sebab keduanyapun menggunakan irah-irah putusan ”Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”

Prinsip arbitrase yang sekaligus merupakan kelebihan arbitrase antara lain; lebih Efisien dibandingkan badan-badan peradilan umum, efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya murah, Final and Binding, lebih privat, terjaga rahasianya, sehingga credibilitas masyarakat tetap terjaga, dalam dunia bisnis ”kepercayaan (trust),” ini merupakan salah satu ”goodwill” atau aset yang cukup diperhitungkan. Kembali Ibu Rahyu menjelasakan “dalam kondisi seperti sekarang ini, saya lebih setuju menggunakan lembaga arbitrase,” selain sifat yang dimiliki seperti diatas, juga untuk mengurangi penumpukan perkara yang demikian besar di MA, serta ”kurang percayanya,” para pelaku bisnis (terlebih Internasional) pada lembaga peradilan kita, maka ini, sebenarnya merupakan peluang besar untuk ”menumbuh suburkan dan memberikan kepercayaan kepada lembaga arbitrase.

Hal ini tentunya juga perlu adanya konsistensi dalam pelaksanaan dan dukungan dari berbagai pihak; termasuk pemerintah. Siapapun harus menghormati dan mau melaksanakan dengan sukarela apa yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase yang ditunjuk oleh para pihak itu sendiri, karena adanya ”kesepakatan/perjanjian”. Dalam agama apapun ”Janji’ adalah utang yang harus dibayar/harus ditepati. Ini juga merupakan suatu prinsip hukum yang bersifat universal, ”pacta sunt servanda”.

wawancara ekslusif dg narasumber
dimuatjuga dalam majalah Forum Keadilan.

Kamis, 10 Desember 2009

Kebijakan atau Alat Kejahatan?

Lahirnya kebijakan dari Bank Indonesia yang mengeluarkan dana bailout Bank Century, awalnya bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi perbangkan, yang dinila adanya rush, namun kebijakan itu memunculkan permasalahan yang cukup serius, hingga muncul dugaan yang melibatkan Boediyono, dan Sri Mulyani. Apakah kebijakan itu bertentangan dengan hukum? Atau apakah kebijakan itu hanya sebagai alat kejahatan?

Patra M. Zein
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Saya kira begini, yang terpenting bagi kita sekarang itu aliran dananya dulu, mengapa? Karena secara formal tujuan dari pada bailout itu sendiri oleh Menteri Keuangan selaku ketua KSSK, tujuanya baik secara formal, bahwa itu ada perdebatan masalah mengenai Bank gagal secara sistematik atau tidak sistematik, wilayahnya nanti akan diselidiki oleh Pansus DPR, itu yang pertma, kedua; bahwa harus tahu terlebih dahulu aliran dana itu, karena menurut saya minimum ada empat dugaan, pertama dugaan tindak pidana perbangkan, dengan di Vonisnya Robert Tantular, tapi ada dugaan tindak pidana lain yang belum diusut, hal itu tergantung dari aliran dana tersebut.

Tiga dugaan tindak pidana itu; Tindak pidana pencucian uang, tindak pidana umum, dan tindak pidana korupsi. Tapi dugaan itu muaranya atau awalnya harus dibuka dulu, apakah ada pelanggaran hukumnya. Kalau aliran dananya potretnya tidak terlihat (buram) tentu itu sulit, sehingga yang terjadi sahwasangka dalam arti duga-duga, yang terjadi ketidak teransparan, kurangnya kredibilitas maupun kepercayaan masyarakat. Karena pelangaran hukum itu melanggar undang-undang, jadi menurut saya adalah mulainnya dengan dugaan itu, karena tanpa ada aliran dana potret jelas nantinya hanya proses duga-duga, terpenting sekarang merupakan titik awal berjalannya adalah potret, sekema dana itu dulu yang harus dibongkar, bukan pada wilayah mngenai kebijakan yang dibuat, sampai sekarang dugaan itu sangat kuat, kenapa? Karena saya balik, kenapa aliran dana dan sekema itu tidak secepatnya publik mengetahui, tetapi saya juga bisa salah, karena memang itu hanyalah dugaan.

Mengenai proses pengeluaran kebijakan Ekonomi, saya kurang begitu faham mengenai sistematik atau tidaknya, tetapi dalam arti hukumnya disitulah terjadi perdebatannya, apakah Bank gagal sistematik, ia atau tidak, tapi berdasarkan aspek hukumnya, menurut saya minimum ada dalam soal pengucuran dana ini, terlepas tadi pengucuran dana yang harus kita tahu.

Pertanyaannya saya, itu kan ada tiga entitas atau tiga momenkaltur, Menteri Keuangan sebagai KSSK, Gubenur BI sebagai anggota, dan LPS, jadi tiga itu yang menentukan, pertanyaannya. Apakah pengucuran dana tersebut mengandung tindak pidana? Menurut saya jangan dipermasalahkan kebijakannya dulu, tapi usut dulu bagaimana proses uang tadi mengalir, jadi disitu akan kelihatan, apakah proses pencairan dana itu sesuai untuk perbangkan, untuk menyehatkanlah, untuk supaya tidak terjadi rushlah, supaya tidak terjadi goncangan terhadap perbangkan, begitulah. Jadi masalah kebijakan itu masih dalam perdebatan, sehingga lebih baik faktannya dulu apakah benar itu Bank Century, apakah benar itu untuk penyehatan? Begitu kenak, baru kita bisa tahu bahwa larinya dana atau sekema aliran, sehingga menurut saya inilah yang tidak sehat, tidak sehat dalam arti sahwasangka atau duga-duga, oleh karena itu saya memintak kepada DPR agar serius mengungkap aliran dana tersebut.

Apakah memang lahirnya kebijakan sebagai alat kejahatan? Makanya itu nanti unsurnya bisa diketahui, seperti yang saya tulis di Seputar Indonesia tanggal 4 Desember pekan lalu, jika saya sebagai penyidik KPK, itu ada sejumlah pasal yang saya duga menjadi konstruksi bagi KPK untuk menangani kasus Bank Century, baik KPK, dan DPR untuk bertindak merumuskan konstruksi tindak pidana yang diduga dilangar, sehingga awalnya harus tahu dulu sekema dan aliran dana itu, sebelum berbicara mengenai kebijakan itu. Jadi ini merupakan dasar bagi kita, bagi KPK, bagi DPR untuk mengurai apa ada pelanggaran, apakah ada dugaan tindak pidana? Kita belajar dari kasus Bank Bali, itu kan baru ketahuaan adannya penyalahgunaan kekuasaan, setelah ketahuan sekema dan aliran pengucuran dananya, ini pendapat saya munkin nanti yang lain akan berbeda. Tapi pendapat saya yang harus dibuka adalah sekema dan aliran dana, baru kemudian kita bisa konstruksikan atau merumuskan dugaan tindak pidana mana saja yang telah dilakukan, nanti rentetannya apakah itu tanggung jawabnya LPS? Apakah tanggung jawab BI selaku pengawas perbangkan? Ataukah apakah itu tanggung jawab dari Menteri Keuangan selaku ketua KSSK? Jangan-jangan ketika tidak adanya aliran dana itu yang saya hawatir, baik penyelidik KPK atau Pansus yang katanya komitmen ini akan sia-sia.

Ganzar Pranowo
Anggota Pansus Century dari Fraksi PDI-P

Yang jelas ini pelanggaran, hasil BPK yang disampaikan kepada kita, indikasi pelanggaran ada sembilan poin, mulai dari perubahan PBI, perubahan cart dan seterusnya, lalu rapat quorum yang orang-orang mempertanyakan, Umpamanya. PBI itukan tata urutan perundang-undangan, yang kalau tidak diperintahkan oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tatacara pembuatan undang-undang, PBI itu bukan termasuk tata urutan perundang-undangan, sehingga itu lebih kepada Besiking saja bukan Regeling, kalau kemudian itu diperintahkan oleh UU perbangkan katakanlah begitu dalam konteks UU BI, maka kita urut PBI bunyinya apa, kalau PBI bunyinya quorum, maka betul ndak terjadi suatu quorum, kita tidak terlalu susah untuk menghadirkan itu. Mengenai keputusan dipertanyakan juga, termasuk bagaimana inidikasi yang janggal-janggal itu, umpama “Masa ia, transfernya dilaksanakan hari minggu,” kemudian ada trasfer yang diberikan sebelum adanya keputusan diambil, itu menjadi catatan yang ada di kita.

Ketika kemudian bailout dipakek untuk alasan menyelamatkan, sekarang yang terjadi alasan penyelamatan itu diguggat, kemudian perdebatan alasan sistemik atau tidak, kami tidak mau terjebak dengan alasan sistemik atau tidak, menurut catatan dari BPK ada indikiasi pelanggaran, dari inidikasi inilah yang kami akan unggkap, berdasarkan basis data yang telah diberikan BPK, nanti kami akan urutkan mulai satu-persatu indikasi yang dimaksud, untuk dibuktikan dengan cara memanggil saksi-saksi yang akan dihadirkan dipanitia angket. Sehingga sanggat bisa kebijakan itu dibawah keranah pidana, kenapa? karena pengambilan keputusan itu banyak tahapannya, kalau nanti indikasi pelanggarannya kelihatan, maka pelangaran itu akan dibawah keranah pidana, kalau arahnya keranah politik, akan diselesaikan secara politik, tapi DPR ini bukan mencari tindak pidana, DPR berbicara politik, maka berbicara politik berdasarkan hak angket, sehingga semua inidkiasi pelanggaran dari sebuah kebijakan pemerintah yang beakibat luas, itulah unsur-unsur yang harus dipenuhi dan itulah keputusan politik, urusan pidannya kita sudah memintak DPR melalui pimpinan DPR dan sudah memberikan hasil laporan investigasi kepada KPK, dimana KPK kemaren sudah memintak hasil investigasinya, agar ini tidak gembos dan berjalan, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan publik, maka ini jalannya pararel, yang pidana kita harapkan KPK cepat bertindak, dan yang sifatnya politik biar diselesaikan oleh DPR melalui hak angket.

Kebijakan pemerintah itu kan politik, bahwa ada perkataan kebijakan tidak bisa diadili, “Nanti dulu” waktu ada kebijakan Prof. Itma Hanto yang mengatakan kebijakan tidak bisa diadili, jangan salah, Burhanudin waktu membuat kebijakan dapat diadili dan sekarang dia dihukum, yang terjadi untuk Bank Centur adalah cara-cara untuk penyelamatan, kebijakan yang diindikasi melanggar peraturan perundang-undangan yang berdampak luas, contohnya sekarang sudah kelihatan 6,7 Triliun dikeluarkan, masyarakat yang menabung disana sekarang masih geger, kemudian ada indikasi-indikasi ekonomi yang macem-macem yang dikatakan BI sistemik, itukan ada dampaknya luas dan diperhitungkan akan meluas, dari indikasi inilah panitia angket akan menyelidiki proses-proses itu, apakah benar kebijakan itu melanggar peraturan perundang-undangan? Kenapa PBI dirubah? Kenapa anggaran itu dikucurkan terhadap Bank Century secara bertahap? Kenapa ada dana dikeluarkan dulu, baru keputusan diambil? Kenapa pada waktu rapat di KSSK itu ada yang bilang data itu jangan dikeluarkan, nanti ada yang geger, umpamanya begitu. Inilah kemudian kebijakan yang akan kita selidiki.

Apakah memang lahirnya kebijakan sebagai alat kejahatan? Bisa ia, bisa tidak, jadi hasil pemeriksaan BPK menjelaskan, bahwa indikasi pelanggaran yang diaudit oleh BPK itu saja yang akan dikonfirmasi dipanitia angket, misalnya; benarkah saudara membuat kebijakan seperti ini? Kenapa bisa menjadi seperti ini? Siapa yang menyuruh? Apakah ada nota-nota yang diberikan yang memaksa saudara mengambil keputusan ini? Siapa yan diuntungkan? Dari sekian dana itu, uangnya lari kemana? Mana yang dijamin oleh LPS? Jadi kita baru bisa bicara adanya pelangaran, setelah adanya penyelidikan, maka basis data pertama dari panitia angket adalah data pemeriksaan investigatif BPK, disamping data-data lain, kesaksian-kesaksian dari saksi nanti yang akan dipanggil, begitu semua sudah, baru kita bisa mengambil kesimpulan, kalau sekarang baru sibuk di dugaan-dugaan, adanya asumsi-asumsi yang dilakukan untuk dibuktikan pada panitia angket, yang agendanya baru akan disusun tanggal 14 nanti. Baru setelah itu kita akan simpulkan, misalnya, ini yang pidana, ini pelanggaran politik, itu baru bisa diambil kalau sekarang belum bisa, biar tidak ada prejudise.

Dimuat dalam Majalah Forum Keadilan

Tanggung Jawab Pengacara terhadap Klien Buron

Sejak lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 keberadaan pengacara semakin terlegetimasi, dimana pengacara disamakan dengan penegak hukum, dan sebagai porofesi “Oficum Nobile,” artinya profesi yang tehormat, oleh karenanya pengacara mempunyai tugas untuk menjujung tinggi hukum serta menegakkan keadilan. Tapi disisi lain pengacara mempunyai hak imunitas, hak yang tidak dapat dituntut Pidana maupun Perdata. Bagaimana jika pengacara tidak memberitahukan keberadaan kliennya yang setatusnya buron? Dan bagaimana dengan tanggung jawab pengacara sebagai penegak hukum?

Egie Sodjana
Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Sebagaimana yang telah diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pengacara atau siapa saja yang berani menjamin klien atau orang yang dalam proses hukum, ketika waktu itu masih diketahui keberadaanya, maka mereka yang menjaminkan dirinya harus dimintai pertanggung jawaban, kalau kliennya ternyata orang yang tersangkut hukum ini melarikan diri, kenapa? Ya. karena mereka telah komitmen untuk menjaminkan dirinya, oleh karena itulah logikanya sanggat sederhana, contohnya misalnya kasus-kasus baru ini, Bibit-Chadra, diamana banyak tokoh-tokoh yang mau menjaminkan dirinya supaya Bibit-Chandra di berikan penangguhan penahanan. Misal, logikanya ketika yang tersangkut hukum itu kemudian melarikan diri, maka orang-orang yang menjaminkan dirinya wajib bertanggung jawab sesuai dengan ucapannya, dan bisa dilakukan penahanan atas dirinya, hal ini sesui dengan kontek pertanggung jawaban dalam penangguhan penahanan.

Dalam konteks proses penyidikan, apabila klien tadi melarikan diri, maka pengacara tidak bisa dengan serta merta dimintai pertangung jawaban, karena tidak mungkin juga pengacara mengetahui dimana kliennya berada, hal ini juga disebabkan pengacaranya kurang kooperatif terhadap klien, yang kemudian tiba-tiba menghilang. Jadi memang pada dasarnya penjaminan itu tanggung jawab logis pengacara, ketika berani menjaminkan diri, dan ini menyebabkan pengacara dapat dilakukan penahanan, “itulah tanggung jawab pengacara karena berani-beranai menjamin,” ungkap Egie Sodjana. Tapi ada juga yang diberi waktu sekian hari, atau sekian minggu untuk mencari dimana keberadaan kliennya.

Persoalan penahanan pengacara, tidak bisa dikaitkan dengan konteks hak imunitas yang dimiliki oleh pengacara, dengan alasan karena terkait dengan proses penjaminan atas kliennya, kita bisa lihat sebenarnya apa itu diskripsi penjaminan, sehingga jelas tanggung jawabnya, makanya kalau klien ini kabur “Ya ia diatahan, wong kliennya kabur,” jadi tidak benar kalau hak imunitas dipakai untuk melepaskan tanggug jawab penjaminan ini, kalau hak imunitas dipakai dalam masalah seperti ini jelas menyalahi prosedur hukum yang ada, dan demikianlah logika hukumnya yang tepat.

Asumsi dalam proses penjaminan, selama kliennya diketahui masih ada dan diyakini tidak akan melarikan diri, maka pada waktu itu pengacara atau keleuarganya, biasanya menjaminkan dirinya, atas proses orang yang tersangkut hukum ketika masih berjalan, sehingga ini diyakini oleh polisi tidak akan melarikan diri, logika berikutnya ternyata klien ini melarikan diri, maka yang menjamin atas dirinya harus dilakukan penahanan. Karena sejak awa klien ini telah memberitahukan atau menginformasikan, terkait siapa-siapa saja yang menjainnya, oleh karenanya hal seperti ini harus diperhatikan betul oleh kepolisian khususnya penyidik.

Kalau dari awal pengacaranya tahu bahwa kliennya kabur, maka pengacara juga wajib melaporkan kliennya kepada polisi, dengan kondisi seperti ini maka nantinya pengacara akan mendapatkan keringanan dari polisi, karena telah memberitahukan bahwa ternyata kliennya kabur, sehingga dalam pencarian nantinya pengacara dan kepolisian bekerja sama untuk sama-sama mencari, dan mengejar keberadaan kliennya tersebut, Jadi tidak kemudian polisi serta-merta menahan pengacara tetap perlu melihat konteksnya.

Apa secara tertulis penjaminan itu? Jadi Prosesnya kan begini, dalam proses penjaminan itu harus tertulis, jadi gak bisa kalau tidak tertulis, makannya dari awal saya katakan pengacara dapat ditahan, karena dia berani menjamin kliennya yang tidak bener, ini konsekuensi logis pengacara ditahan karena berani menjamin, dan tidak mungkin pengacara menjamin kalau kliennya tidak ada.

Hak rahasia atas hubungan klien, tidak bisa dan tidak masuk dalam kasus seperti ini, karena sudah melanggar hukum yang lain, yaitu melarikan diri, makanya upaya yang bisa dilakukan adalah mengejar klienya, atau mencari tahu keberadaanya, ini salah satu bentuk dari konsekuensi logis pengacara, menurut Egie Sodjana “Logika kerahasiaan hubungan dengan klien itu, tidak bisa dijadikan tamen ketika kliennya tidak benar.” Sama juga dengan logika kerahasian bank yang mana nasabah dirahasiakan, tapi kalau korupsi dan money londring harus diungkap dan tidak ada alasan, dengan seperti ini saya mau katakana bahwa memang hukum itu harus jelas, dan kaku tapi tetap ada pengecualian-pengecualian begitu.

Deny Kailiman
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia

Profesi advokat itu kan profesi yang sangat terhormat, mandiri dan bertanggung jawab, artinya dia menjalankan tugasnya itu harus hormat kepada undang-undang, peraturan-peraturan dan kode etik. undang-undang mengatakan bahwa profesi adavokat dikatakan satu setatus. Berkaitan dengan klein yang menjadi buron “Apabila advokat- advokat itu menjadi kuasanya, nah ini yang menjadi masalah tersendiri,” kata Deny Kailiman. Apakah itu melanggar undang-undang? Karena undang-udang sudah mengatakan bahwa pejabat yang berwenang telah bertindak, dan menjalankan berdasarkan undang-undang, telah memanggil orang yang tersangkut hukum tetapi dia tidak datang, sehingga dinyatakan sebagai orang yang dicara/buron.



Kalau statusnya buron, berarti advokat itu tidak bisa mendapatkan kuasa dari dia, kecuali advokat mendapatkan kuasa sebelumnya, karena pekerjaan advokat adalah mendampinggi, memberi jasa hukum, berarti pekerjaan advokat membela hak atas kepentingan kliennya diluar ataupun didalam pengadilan. Jadi kalau secara perosedur advokat mendapatkan kuasa dari orang yang menjado buron tadi, maka advokat mempunyai suatu kewajiban untuk membawa kliennya tersebut menghadap ke kepolisian, dan klinnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, serta menjelaskan perkara hukum yang menyangkut padanya.

Konsturuksinya kalau sudah ada hubungan dengan kliennya, maka ada hubungan secara lisan maupun tertulis, dan hal ini sudah dalam kerangka masalah tindak pidana, artinya sudah ada hunbungan secara tertulis, sehingga tidak boleh tidak secara tertulis, jadi harus berbentuk surat kuasa, kalau tidak bisa memberikan surat kuasa, maka tidak bisa menjadi kuasa hukum, logika hukumnya begitu.

Dengan kasus yang semacam ini harusanya, advokat dimintakan pertanggung jawaban, dan pertanggung jawaban itu ada dua, yang pertama; Prtanggung jawaban profesi, terkait etis atau tidak etis, dan kedua; pertanggung jawaban hukum, bisa saja factor menghalang-halanggi, artinya advokat itu bisa diduga melakukan tindakan pidana menghalang-halanggi proses penyidikan, misalnya setelah advokat berbicara di depan public tentang kliennya yang menjadi buronan, maka yang memberikan setatus buronan, bisa melakukan somasi kepada advokatnya, untuk memintak klarifikasi dan menghadirkan kliennya tersebut dalam waktu sesuai dengan ketentuan undang-undang, karena advokat sudah bertindak untuk dan atasa nama klien, dan apabila hal untuk menghadirkan kliennya, maka advokat ini harus mundur. Jadi tidak serta merta kemudian advokat ini ditahan, jadi ada poses terlebih dahulu.

Prosenya adalah ada peringatan dari kepolisian karena advokat sudah bertindak untu dan atas nama, yang mana tadi kliennya bersetatus buron, sehingga ada proses peringatan, peringatan pertama sampai tiga kali, apabila tetap tidak memeberitahukan keberadaan klienya, kemudian berbicara terus menerus di public, maka perbuatan advokat ini disinyalir menghalang-halangi proses penyidikan, jadi bisa diambil tindakan hukum secara pidana berdasarkan pasal 218 Kitab Undang-undang Hukun Pidana. Dan ini tidak bisa dikaitkan dengan hak imunitas yang dimiliki oleh advokat yang ada didalam kode etik, untuk menjun-jung tinggi undang-undang, artinya kalau advokat ini ngomong atas kepentingan klaiennya saja, padahal kliennya sedang dicari, maka bukan dalam konteks imunitas itu, imunitas itu kan pada proses penegakan hukum, ini artinya bahwa perbuatan itu tidak taat kepada undang-undang.

Jadi dalam kondisi seperti ini, bukan berarti advokat tidak kooperatif justru kalau kurang kooperatif maka advokat seharusnya menggundurkan diri dari awal, kewajiban hukum yang harus dipertanggung jawabkan advokat adalah harus menjun-jung tinggi hukum, sehingga harus dihormati, jadi apabila kliennya tidak mau datang, seharusnya advokat menyampaikan dengan baik-baik atas panggilan itu, dan itu wujud dari sikap advokat yang bertangung jawab secara hukum, jadi teknisnya begitu.
Sebenarnya tugas advokat itu kan, menjelaskan kliennya harus datang ketika ada panggilan ke Polisian, dan menjelasakan apabila kliennya tidak datang maka ada sanksinya, karena itu adalah kewajiban hukum. “Jadi jangan bicara lagi untuk dan atas nama klienya, wong dia tidak mau datang” tegas kata Deny Kailimang. kesimpulan saya bahwa advokat harus menjun-jung tinggi undang-undang sebagai profesi advokat