Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 17 Desember 2009

“Dualisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”

Perkembanagan ekonomi syariah di Indonesia sudah sanggat pesat, perkembangan ekonomi syariah ini menjalar kepada Bank-bank ternama, misalnya yang tadinya Bank-bank ini tidak menggunakan sistem syariah, mulai berduyung-duyung untuk mengunakan sistem tersebut sepertihalnya Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Mandiri Syariah, dan banyak lainnya, hal ini berimplikasi hukum apabila terjadi sengketa diantara nasabah dan Bank, yang nantinya dihadapkan dengan pertanyaan persoalan sengkeya ekonomi syariah ini dibawah kemekanisme hukum yang mana? MUI pernah mengeluarkan fatwa dibidang ekonomi syaria’ah yang menyatakan “Apabila ada sengketa dibidang ekonomi syariah penyelesaiannya dibawa ke Badan Arbitrase Syariah Nasional atau Basyarnas.

Berkaitan dengan fatwa MUI itu, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulunya hanya berwenang menangani kasus-kasus hukum keluarga seperti nikah, waris/washiat dan wakaf, setelah direfisi menjadi UU No 3 tahun 2006 Peradilan Agama mempunyai kewenangan meluas ke wilayah ekonomi syariah, Pasal 49 dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: Bank syariah, Lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasurasi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syari’ah, Pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah. Oleh karenanya dalam pasal 46 i mengatakan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa dan memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama diantara orang Islam di bidang ekonomi syari`ah.

Adanya, fatwa MUI dan lahirnya Arbitrase Syariah atau Basyarnas yang lebih dulu ada dibandingkan dengan UU 3 Tahun 2006 hasil Revisi UU 7 tahun 1989, mengenai masalah penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syariah, tentunya akan membingungkan dan mempersulit masyarakat untuk membawa sengketanya?

Oleh karennya. Bapak Ahmad Djauhari Sekertaris Basyarnas, menjelsakan; Adanya persepsi mengenai dualisme pengaturan penyelesaian sengketa dibidang ekonomi syariah itu perlu diluruskan, pertama; Bahwa untuk menyelesaikan sengketa perdata, peraturan perundang-undangan membenarkan dengan dua cara, pertama; Melalui peradilan yang disediakan oleh Negara, seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), untuk PA termasuk pengadilan khusus dengan asas personalitas keislaman, maka peradilan agama baru pada tahun 2006 melalui UU Nomer 3 tahun 2006 mendapatkan tambahan wewenang menyelsaiakan sengketa ekonomi syariah.

Melalui UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 56 ayat (2) memberikan kesempatan bagi pencari keadilan dalam menyelesaikan sengketanya dapat mengunakan Arbitrase, dengan catatan para pihaknya harus sepakat secara tertulis untuk menyelesaikan sengketanya dengan sistem arbitrase, sehingga pengadilan menjadi tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan.pilihan hukum, bisa mengunakan hukum islam, perdata barat, hukum anglo saxon, terserah kepada para pihaknya, disitulah untuk sengketa-sengketa ekonomi syariah wajar, logis dan katakan wajib menyelesaiakannya dengan syaraiah pula.

Sebelum UU 3 tahun 2006, Basyarnas sudah berdiri sejak 21 Oktober 1993, dan dulu arbitrase diatur oleh Rechtvordering pasal 615-651 tentang sistem Arbitrase, sistem ini memang dari awal sudah memberikan pilihan hukum, yang dirumuskan didalam pasal 56 ayat (2). Jadi adanya Pengadilan Agama yang mendapatkan tambahan wewenang memeriksa sengketa ekonomi syariah bukan berarti saingan buat Basyarnas, “itu hanya sebagai teman berfikir, bahkan sebagai Fastabiqul Khoirot,” ungkap sekertaris Basyarnas.

Dalam rangka menegakkan syaraiat Allah, kenapa dulu orang tidak meributkan mengenai Badan Arbitrase Nasional Iindonesia (BANI), dengan adanya Pengadilan Agama yang mempuyai kewenangan, memeriksa dan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, kemudian itu dijadikan saingan bagi Basyarnas, ini tidak adil kalau ada fikiran semacam itu. Makanya Bagi para pelaku bisnis, perlu mengetahui perbedaan yang sanggat signifikan dalam menyelesaiakan sengketa lewat Arbitrase, misalanya proses persidangan di Basyarnas yang sederhana, tertutup untuk umum, rahasia-rahasia dagang tidak diobral keluar, simpel tidak terlalu formalitas seperti di PN maupun PA, kemudian di Basyarnas selalu mengutamakan penyelesaian dengan prisnsip islah (Mendamaikan) itu prinsip yang diutamakan,

Mengenai putusan Basyarnas, itu bersifat final dan mengikat, sementara putusan PN ataupun PA tidak, karena masih ada upaya hukum seperti; Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, dari segi efesiensi penyelesaian sengketa melalui Arbitrase paling lama 180 hari sudah harus putus, dan dari segi ekonomi bisa dihitung sendiri. Untuk hal apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan dengan sukarela, putusan Basyarnas dapat dimohonkan ke Penadilan sesuai dengan surat ederan Mahkamh Agung Nomor 8 tahun 2008 menetapkan “putusan Arbitrase Syariah pelaksanaan eksekusinya melalui Peradilan Agama.”

Bapak Ahmad Djauhari menjelsakan, kenapa DSN (Dewan Syariah Nasioanal) membuat fatwa dibidang ekonomi sayariah? Wajar karena MUI tentu inggin mengarahkan penyelesaian sengketa orang islam juga secara syar’i, tidak boleh MUI menjerumuskan para pelaku ekonomi ketempat lain, ”Kalau anda ada sengketa, silakan anda ke Basyarnas saja,” karena itu lebih efesien dari segi waktu dan sebagainya. Dan tidak hanya saja penyelesain sengkta melalui basyarnas ini dinikmati oleh para orang islan, non muslimpun bisa dengan prisnsip asas kebebasan berkontrak, artinya orang non muslim tadi dengan sukarela menundukan dirinya kepada hukum atau syariat islam, jadi disini berlaku teori penundukan diri terhadap hukum.

Rahayu Hartini, S.H, M.SI., M.Hum Dosen FH UMM, yang sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Airlangga. Mempunyai pandangan tersendiri, saya melihatnya ada pertentangan mengenai fatwa MUI tersebut, karena dalam Pasal 49 huruf i UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Seyogyanya MUI dalam mengeluarkan Fatwanya, khususnya terkait dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi syariah, setelah UU No. 3 Tahun 2006 disahkan merujuk kepada UU tersebut. Bukan malah mengeluarkan fatwa setelah tiga hari UU tersebut disahkan, MUI mengeluarkan ada empat fatwa yang isinya bila ada sengketa ekonomi syariah dibawa ke Basyarnas. Karena untuk membawa sengketa syariah ke Basyarnas syaratnya harus ada “aqad” yang memperjanjikan untuk itu, hal ini mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang APS dan Arbitrase.

Adanya dualisme kewenangan, antara Peradilan Agama sebagaimana ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 khususnya Pasal 49 huruf i, bahkan juga menjadi kewenangan Peradilan Umum seperti yang diatur dalam penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bila itu menyangkut sengketa terkait dengan bank syariah, demikian juga dengan Fatwa MUI yang menyatakan diselesaikan ke Basyarnas. sehingga ke tiga UU tersebut yang mengatur kewenangan penyelesaian sengketa, tidak sinkron, sehingga harmonisasi perlu segera dilakukan agar tidak terjadi dualisme kewenangan lagi.

Logika hukumnya, apabila ada sengketa, harus dilihat apakah ada ”aqad yang isinya memperjanjikan, bila ada sengketa di selesaikan melalui Basyarnas atau tidak?” Bila dalam aqadnya menunjuk Basyarnas, maka para pihak harus mematuhi ”aqad yang telah dibuat dan disepakati.” Tetapi apabila ”tidak ada aqad yang demikian” maka para pihak bisa membawanya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 jo. Pasal 55 Ayat (1) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Prinsipnya demikian,

Terhadap UU No. 21 Tahun 2008 ini juga masih perlu dikaji lagi, khususnya Pasal 55 Ayat (2). Dalam penjelasannya justru tidak membuat Ayat (2) tersebut menjadi jelas tetapi malah rancu, ambigu, terjadi dualisme kewenangan dalam penyelesaian sengketa khususnya perbankan syariah antara Pengadilan Agama (Pasal 49 huruf (i) UU No 3 Tahun 2006 dengan Peradilan Umum / Pengadilan Negeri (penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf (d) UU No. 21 Tahun 2008.

Jadi memang pada prinsipnya penyelesaian sengketa melalui Basyarnas, harus didahului adanya suatu perjanjian terlebih dahulu yang disebut dengan ”klausul arbitrase”. Perjanjian tersebut bisa dibuat sejak awal mereka mengadakan hubungan hukum (acta compromi) atau baru disepakati ketika terjadi sengketa diantara para pihak (pactum de compromittendo).

Penyelesaian sengketa di Basyarnas adalah merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi. Sementara penyelesaian sengketa di PA adalah secara legal formal-litigasi. Keduanya sebenarnya tidak jauh berbeda dalam proses beracaranya maupun putusannya, karena mempunyai kekuatan hukum yang sama, sebab keduanyapun menggunakan irah-irah putusan ”Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”

Prinsip arbitrase yang sekaligus merupakan kelebihan arbitrase antara lain; lebih Efisien dibandingkan badan-badan peradilan umum, efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya murah, Final and Binding, lebih privat, terjaga rahasianya, sehingga credibilitas masyarakat tetap terjaga, dalam dunia bisnis ”kepercayaan (trust),” ini merupakan salah satu ”goodwill” atau aset yang cukup diperhitungkan. Kembali Ibu Rahyu menjelasakan “dalam kondisi seperti sekarang ini, saya lebih setuju menggunakan lembaga arbitrase,” selain sifat yang dimiliki seperti diatas, juga untuk mengurangi penumpukan perkara yang demikian besar di MA, serta ”kurang percayanya,” para pelaku bisnis (terlebih Internasional) pada lembaga peradilan kita, maka ini, sebenarnya merupakan peluang besar untuk ”menumbuh suburkan dan memberikan kepercayaan kepada lembaga arbitrase.

Hal ini tentunya juga perlu adanya konsistensi dalam pelaksanaan dan dukungan dari berbagai pihak; termasuk pemerintah. Siapapun harus menghormati dan mau melaksanakan dengan sukarela apa yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase yang ditunjuk oleh para pihak itu sendiri, karena adanya ”kesepakatan/perjanjian”. Dalam agama apapun ”Janji’ adalah utang yang harus dibayar/harus ditepati. Ini juga merupakan suatu prinsip hukum yang bersifat universal, ”pacta sunt servanda”.

wawancara ekslusif dg narasumber
dimuatjuga dalam majalah Forum Keadilan.

Kamis, 10 Desember 2009

Kebijakan atau Alat Kejahatan?

Lahirnya kebijakan dari Bank Indonesia yang mengeluarkan dana bailout Bank Century, awalnya bertujuan untuk menyegarkan kembali kondisi perbangkan, yang dinila adanya rush, namun kebijakan itu memunculkan permasalahan yang cukup serius, hingga muncul dugaan yang melibatkan Boediyono, dan Sri Mulyani. Apakah kebijakan itu bertentangan dengan hukum? Atau apakah kebijakan itu hanya sebagai alat kejahatan?

Patra M. Zein
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

Saya kira begini, yang terpenting bagi kita sekarang itu aliran dananya dulu, mengapa? Karena secara formal tujuan dari pada bailout itu sendiri oleh Menteri Keuangan selaku ketua KSSK, tujuanya baik secara formal, bahwa itu ada perdebatan masalah mengenai Bank gagal secara sistematik atau tidak sistematik, wilayahnya nanti akan diselidiki oleh Pansus DPR, itu yang pertma, kedua; bahwa harus tahu terlebih dahulu aliran dana itu, karena menurut saya minimum ada empat dugaan, pertama dugaan tindak pidana perbangkan, dengan di Vonisnya Robert Tantular, tapi ada dugaan tindak pidana lain yang belum diusut, hal itu tergantung dari aliran dana tersebut.

Tiga dugaan tindak pidana itu; Tindak pidana pencucian uang, tindak pidana umum, dan tindak pidana korupsi. Tapi dugaan itu muaranya atau awalnya harus dibuka dulu, apakah ada pelanggaran hukumnya. Kalau aliran dananya potretnya tidak terlihat (buram) tentu itu sulit, sehingga yang terjadi sahwasangka dalam arti duga-duga, yang terjadi ketidak teransparan, kurangnya kredibilitas maupun kepercayaan masyarakat. Karena pelangaran hukum itu melanggar undang-undang, jadi menurut saya adalah mulainnya dengan dugaan itu, karena tanpa ada aliran dana potret jelas nantinya hanya proses duga-duga, terpenting sekarang merupakan titik awal berjalannya adalah potret, sekema dana itu dulu yang harus dibongkar, bukan pada wilayah mngenai kebijakan yang dibuat, sampai sekarang dugaan itu sangat kuat, kenapa? Karena saya balik, kenapa aliran dana dan sekema itu tidak secepatnya publik mengetahui, tetapi saya juga bisa salah, karena memang itu hanyalah dugaan.

Mengenai proses pengeluaran kebijakan Ekonomi, saya kurang begitu faham mengenai sistematik atau tidaknya, tetapi dalam arti hukumnya disitulah terjadi perdebatannya, apakah Bank gagal sistematik, ia atau tidak, tapi berdasarkan aspek hukumnya, menurut saya minimum ada dalam soal pengucuran dana ini, terlepas tadi pengucuran dana yang harus kita tahu.

Pertanyaannya saya, itu kan ada tiga entitas atau tiga momenkaltur, Menteri Keuangan sebagai KSSK, Gubenur BI sebagai anggota, dan LPS, jadi tiga itu yang menentukan, pertanyaannya. Apakah pengucuran dana tersebut mengandung tindak pidana? Menurut saya jangan dipermasalahkan kebijakannya dulu, tapi usut dulu bagaimana proses uang tadi mengalir, jadi disitu akan kelihatan, apakah proses pencairan dana itu sesuai untuk perbangkan, untuk menyehatkanlah, untuk supaya tidak terjadi rushlah, supaya tidak terjadi goncangan terhadap perbangkan, begitulah. Jadi masalah kebijakan itu masih dalam perdebatan, sehingga lebih baik faktannya dulu apakah benar itu Bank Century, apakah benar itu untuk penyehatan? Begitu kenak, baru kita bisa tahu bahwa larinya dana atau sekema aliran, sehingga menurut saya inilah yang tidak sehat, tidak sehat dalam arti sahwasangka atau duga-duga, oleh karena itu saya memintak kepada DPR agar serius mengungkap aliran dana tersebut.

Apakah memang lahirnya kebijakan sebagai alat kejahatan? Makanya itu nanti unsurnya bisa diketahui, seperti yang saya tulis di Seputar Indonesia tanggal 4 Desember pekan lalu, jika saya sebagai penyidik KPK, itu ada sejumlah pasal yang saya duga menjadi konstruksi bagi KPK untuk menangani kasus Bank Century, baik KPK, dan DPR untuk bertindak merumuskan konstruksi tindak pidana yang diduga dilangar, sehingga awalnya harus tahu dulu sekema dan aliran dana itu, sebelum berbicara mengenai kebijakan itu. Jadi ini merupakan dasar bagi kita, bagi KPK, bagi DPR untuk mengurai apa ada pelanggaran, apakah ada dugaan tindak pidana? Kita belajar dari kasus Bank Bali, itu kan baru ketahuaan adannya penyalahgunaan kekuasaan, setelah ketahuan sekema dan aliran pengucuran dananya, ini pendapat saya munkin nanti yang lain akan berbeda. Tapi pendapat saya yang harus dibuka adalah sekema dan aliran dana, baru kemudian kita bisa konstruksikan atau merumuskan dugaan tindak pidana mana saja yang telah dilakukan, nanti rentetannya apakah itu tanggung jawabnya LPS? Apakah tanggung jawab BI selaku pengawas perbangkan? Ataukah apakah itu tanggung jawab dari Menteri Keuangan selaku ketua KSSK? Jangan-jangan ketika tidak adanya aliran dana itu yang saya hawatir, baik penyelidik KPK atau Pansus yang katanya komitmen ini akan sia-sia.

Ganzar Pranowo
Anggota Pansus Century dari Fraksi PDI-P

Yang jelas ini pelanggaran, hasil BPK yang disampaikan kepada kita, indikasi pelanggaran ada sembilan poin, mulai dari perubahan PBI, perubahan cart dan seterusnya, lalu rapat quorum yang orang-orang mempertanyakan, Umpamanya. PBI itukan tata urutan perundang-undangan, yang kalau tidak diperintahkan oleh UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tatacara pembuatan undang-undang, PBI itu bukan termasuk tata urutan perundang-undangan, sehingga itu lebih kepada Besiking saja bukan Regeling, kalau kemudian itu diperintahkan oleh UU perbangkan katakanlah begitu dalam konteks UU BI, maka kita urut PBI bunyinya apa, kalau PBI bunyinya quorum, maka betul ndak terjadi suatu quorum, kita tidak terlalu susah untuk menghadirkan itu. Mengenai keputusan dipertanyakan juga, termasuk bagaimana inidikasi yang janggal-janggal itu, umpama “Masa ia, transfernya dilaksanakan hari minggu,” kemudian ada trasfer yang diberikan sebelum adanya keputusan diambil, itu menjadi catatan yang ada di kita.

Ketika kemudian bailout dipakek untuk alasan menyelamatkan, sekarang yang terjadi alasan penyelamatan itu diguggat, kemudian perdebatan alasan sistemik atau tidak, kami tidak mau terjebak dengan alasan sistemik atau tidak, menurut catatan dari BPK ada indikiasi pelanggaran, dari inidikasi inilah yang kami akan unggkap, berdasarkan basis data yang telah diberikan BPK, nanti kami akan urutkan mulai satu-persatu indikasi yang dimaksud, untuk dibuktikan dengan cara memanggil saksi-saksi yang akan dihadirkan dipanitia angket. Sehingga sanggat bisa kebijakan itu dibawah keranah pidana, kenapa? karena pengambilan keputusan itu banyak tahapannya, kalau nanti indikasi pelanggarannya kelihatan, maka pelangaran itu akan dibawah keranah pidana, kalau arahnya keranah politik, akan diselesaikan secara politik, tapi DPR ini bukan mencari tindak pidana, DPR berbicara politik, maka berbicara politik berdasarkan hak angket, sehingga semua inidkiasi pelanggaran dari sebuah kebijakan pemerintah yang beakibat luas, itulah unsur-unsur yang harus dipenuhi dan itulah keputusan politik, urusan pidannya kita sudah memintak DPR melalui pimpinan DPR dan sudah memberikan hasil laporan investigasi kepada KPK, dimana KPK kemaren sudah memintak hasil investigasinya, agar ini tidak gembos dan berjalan, sehingga dapat memenuhi rasa keadilan publik, maka ini jalannya pararel, yang pidana kita harapkan KPK cepat bertindak, dan yang sifatnya politik biar diselesaikan oleh DPR melalui hak angket.

Kebijakan pemerintah itu kan politik, bahwa ada perkataan kebijakan tidak bisa diadili, “Nanti dulu” waktu ada kebijakan Prof. Itma Hanto yang mengatakan kebijakan tidak bisa diadili, jangan salah, Burhanudin waktu membuat kebijakan dapat diadili dan sekarang dia dihukum, yang terjadi untuk Bank Centur adalah cara-cara untuk penyelamatan, kebijakan yang diindikasi melanggar peraturan perundang-undangan yang berdampak luas, contohnya sekarang sudah kelihatan 6,7 Triliun dikeluarkan, masyarakat yang menabung disana sekarang masih geger, kemudian ada indikasi-indikasi ekonomi yang macem-macem yang dikatakan BI sistemik, itukan ada dampaknya luas dan diperhitungkan akan meluas, dari indikasi inilah panitia angket akan menyelidiki proses-proses itu, apakah benar kebijakan itu melanggar peraturan perundang-undangan? Kenapa PBI dirubah? Kenapa anggaran itu dikucurkan terhadap Bank Century secara bertahap? Kenapa ada dana dikeluarkan dulu, baru keputusan diambil? Kenapa pada waktu rapat di KSSK itu ada yang bilang data itu jangan dikeluarkan, nanti ada yang geger, umpamanya begitu. Inilah kemudian kebijakan yang akan kita selidiki.

Apakah memang lahirnya kebijakan sebagai alat kejahatan? Bisa ia, bisa tidak, jadi hasil pemeriksaan BPK menjelaskan, bahwa indikasi pelanggaran yang diaudit oleh BPK itu saja yang akan dikonfirmasi dipanitia angket, misalnya; benarkah saudara membuat kebijakan seperti ini? Kenapa bisa menjadi seperti ini? Siapa yang menyuruh? Apakah ada nota-nota yang diberikan yang memaksa saudara mengambil keputusan ini? Siapa yan diuntungkan? Dari sekian dana itu, uangnya lari kemana? Mana yang dijamin oleh LPS? Jadi kita baru bisa bicara adanya pelangaran, setelah adanya penyelidikan, maka basis data pertama dari panitia angket adalah data pemeriksaan investigatif BPK, disamping data-data lain, kesaksian-kesaksian dari saksi nanti yang akan dipanggil, begitu semua sudah, baru kita bisa mengambil kesimpulan, kalau sekarang baru sibuk di dugaan-dugaan, adanya asumsi-asumsi yang dilakukan untuk dibuktikan pada panitia angket, yang agendanya baru akan disusun tanggal 14 nanti. Baru setelah itu kita akan simpulkan, misalnya, ini yang pidana, ini pelanggaran politik, itu baru bisa diambil kalau sekarang belum bisa, biar tidak ada prejudise.

Dimuat dalam Majalah Forum Keadilan

Tanggung Jawab Pengacara terhadap Klien Buron

Sejak lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 keberadaan pengacara semakin terlegetimasi, dimana pengacara disamakan dengan penegak hukum, dan sebagai porofesi “Oficum Nobile,” artinya profesi yang tehormat, oleh karenanya pengacara mempunyai tugas untuk menjujung tinggi hukum serta menegakkan keadilan. Tapi disisi lain pengacara mempunyai hak imunitas, hak yang tidak dapat dituntut Pidana maupun Perdata. Bagaimana jika pengacara tidak memberitahukan keberadaan kliennya yang setatusnya buron? Dan bagaimana dengan tanggung jawab pengacara sebagai penegak hukum?

Egie Sodjana
Kongres Advokat Indonesia (KAI)

Sebagaimana yang telah diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pengacara atau siapa saja yang berani menjamin klien atau orang yang dalam proses hukum, ketika waktu itu masih diketahui keberadaanya, maka mereka yang menjaminkan dirinya harus dimintai pertanggung jawaban, kalau kliennya ternyata orang yang tersangkut hukum ini melarikan diri, kenapa? Ya. karena mereka telah komitmen untuk menjaminkan dirinya, oleh karena itulah logikanya sanggat sederhana, contohnya misalnya kasus-kasus baru ini, Bibit-Chadra, diamana banyak tokoh-tokoh yang mau menjaminkan dirinya supaya Bibit-Chandra di berikan penangguhan penahanan. Misal, logikanya ketika yang tersangkut hukum itu kemudian melarikan diri, maka orang-orang yang menjaminkan dirinya wajib bertanggung jawab sesuai dengan ucapannya, dan bisa dilakukan penahanan atas dirinya, hal ini sesui dengan kontek pertanggung jawaban dalam penangguhan penahanan.

Dalam konteks proses penyidikan, apabila klien tadi melarikan diri, maka pengacara tidak bisa dengan serta merta dimintai pertangung jawaban, karena tidak mungkin juga pengacara mengetahui dimana kliennya berada, hal ini juga disebabkan pengacaranya kurang kooperatif terhadap klien, yang kemudian tiba-tiba menghilang. Jadi memang pada dasarnya penjaminan itu tanggung jawab logis pengacara, ketika berani menjaminkan diri, dan ini menyebabkan pengacara dapat dilakukan penahanan, “itulah tanggung jawab pengacara karena berani-beranai menjamin,” ungkap Egie Sodjana. Tapi ada juga yang diberi waktu sekian hari, atau sekian minggu untuk mencari dimana keberadaan kliennya.

Persoalan penahanan pengacara, tidak bisa dikaitkan dengan konteks hak imunitas yang dimiliki oleh pengacara, dengan alasan karena terkait dengan proses penjaminan atas kliennya, kita bisa lihat sebenarnya apa itu diskripsi penjaminan, sehingga jelas tanggung jawabnya, makanya kalau klien ini kabur “Ya ia diatahan, wong kliennya kabur,” jadi tidak benar kalau hak imunitas dipakai untuk melepaskan tanggug jawab penjaminan ini, kalau hak imunitas dipakai dalam masalah seperti ini jelas menyalahi prosedur hukum yang ada, dan demikianlah logika hukumnya yang tepat.

Asumsi dalam proses penjaminan, selama kliennya diketahui masih ada dan diyakini tidak akan melarikan diri, maka pada waktu itu pengacara atau keleuarganya, biasanya menjaminkan dirinya, atas proses orang yang tersangkut hukum ketika masih berjalan, sehingga ini diyakini oleh polisi tidak akan melarikan diri, logika berikutnya ternyata klien ini melarikan diri, maka yang menjamin atas dirinya harus dilakukan penahanan. Karena sejak awa klien ini telah memberitahukan atau menginformasikan, terkait siapa-siapa saja yang menjainnya, oleh karenanya hal seperti ini harus diperhatikan betul oleh kepolisian khususnya penyidik.

Kalau dari awal pengacaranya tahu bahwa kliennya kabur, maka pengacara juga wajib melaporkan kliennya kepada polisi, dengan kondisi seperti ini maka nantinya pengacara akan mendapatkan keringanan dari polisi, karena telah memberitahukan bahwa ternyata kliennya kabur, sehingga dalam pencarian nantinya pengacara dan kepolisian bekerja sama untuk sama-sama mencari, dan mengejar keberadaan kliennya tersebut, Jadi tidak kemudian polisi serta-merta menahan pengacara tetap perlu melihat konteksnya.

Apa secara tertulis penjaminan itu? Jadi Prosesnya kan begini, dalam proses penjaminan itu harus tertulis, jadi gak bisa kalau tidak tertulis, makannya dari awal saya katakan pengacara dapat ditahan, karena dia berani menjamin kliennya yang tidak bener, ini konsekuensi logis pengacara ditahan karena berani menjamin, dan tidak mungkin pengacara menjamin kalau kliennya tidak ada.

Hak rahasia atas hubungan klien, tidak bisa dan tidak masuk dalam kasus seperti ini, karena sudah melanggar hukum yang lain, yaitu melarikan diri, makanya upaya yang bisa dilakukan adalah mengejar klienya, atau mencari tahu keberadaanya, ini salah satu bentuk dari konsekuensi logis pengacara, menurut Egie Sodjana “Logika kerahasiaan hubungan dengan klien itu, tidak bisa dijadikan tamen ketika kliennya tidak benar.” Sama juga dengan logika kerahasian bank yang mana nasabah dirahasiakan, tapi kalau korupsi dan money londring harus diungkap dan tidak ada alasan, dengan seperti ini saya mau katakana bahwa memang hukum itu harus jelas, dan kaku tapi tetap ada pengecualian-pengecualian begitu.

Deny Kailiman
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia

Profesi advokat itu kan profesi yang sangat terhormat, mandiri dan bertanggung jawab, artinya dia menjalankan tugasnya itu harus hormat kepada undang-undang, peraturan-peraturan dan kode etik. undang-undang mengatakan bahwa profesi adavokat dikatakan satu setatus. Berkaitan dengan klein yang menjadi buron “Apabila advokat- advokat itu menjadi kuasanya, nah ini yang menjadi masalah tersendiri,” kata Deny Kailiman. Apakah itu melanggar undang-undang? Karena undang-udang sudah mengatakan bahwa pejabat yang berwenang telah bertindak, dan menjalankan berdasarkan undang-undang, telah memanggil orang yang tersangkut hukum tetapi dia tidak datang, sehingga dinyatakan sebagai orang yang dicara/buron.



Kalau statusnya buron, berarti advokat itu tidak bisa mendapatkan kuasa dari dia, kecuali advokat mendapatkan kuasa sebelumnya, karena pekerjaan advokat adalah mendampinggi, memberi jasa hukum, berarti pekerjaan advokat membela hak atas kepentingan kliennya diluar ataupun didalam pengadilan. Jadi kalau secara perosedur advokat mendapatkan kuasa dari orang yang menjado buron tadi, maka advokat mempunyai suatu kewajiban untuk membawa kliennya tersebut menghadap ke kepolisian, dan klinnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, serta menjelaskan perkara hukum yang menyangkut padanya.

Konsturuksinya kalau sudah ada hubungan dengan kliennya, maka ada hubungan secara lisan maupun tertulis, dan hal ini sudah dalam kerangka masalah tindak pidana, artinya sudah ada hunbungan secara tertulis, sehingga tidak boleh tidak secara tertulis, jadi harus berbentuk surat kuasa, kalau tidak bisa memberikan surat kuasa, maka tidak bisa menjadi kuasa hukum, logika hukumnya begitu.

Dengan kasus yang semacam ini harusanya, advokat dimintakan pertanggung jawaban, dan pertanggung jawaban itu ada dua, yang pertama; Prtanggung jawaban profesi, terkait etis atau tidak etis, dan kedua; pertanggung jawaban hukum, bisa saja factor menghalang-halanggi, artinya advokat itu bisa diduga melakukan tindakan pidana menghalang-halanggi proses penyidikan, misalnya setelah advokat berbicara di depan public tentang kliennya yang menjadi buronan, maka yang memberikan setatus buronan, bisa melakukan somasi kepada advokatnya, untuk memintak klarifikasi dan menghadirkan kliennya tersebut dalam waktu sesuai dengan ketentuan undang-undang, karena advokat sudah bertindak untuk dan atasa nama klien, dan apabila hal untuk menghadirkan kliennya, maka advokat ini harus mundur. Jadi tidak serta merta kemudian advokat ini ditahan, jadi ada poses terlebih dahulu.

Prosenya adalah ada peringatan dari kepolisian karena advokat sudah bertindak untu dan atas nama, yang mana tadi kliennya bersetatus buron, sehingga ada proses peringatan, peringatan pertama sampai tiga kali, apabila tetap tidak memeberitahukan keberadaan klienya, kemudian berbicara terus menerus di public, maka perbuatan advokat ini disinyalir menghalang-halangi proses penyidikan, jadi bisa diambil tindakan hukum secara pidana berdasarkan pasal 218 Kitab Undang-undang Hukun Pidana. Dan ini tidak bisa dikaitkan dengan hak imunitas yang dimiliki oleh advokat yang ada didalam kode etik, untuk menjun-jung tinggi undang-undang, artinya kalau advokat ini ngomong atas kepentingan klaiennya saja, padahal kliennya sedang dicari, maka bukan dalam konteks imunitas itu, imunitas itu kan pada proses penegakan hukum, ini artinya bahwa perbuatan itu tidak taat kepada undang-undang.

Jadi dalam kondisi seperti ini, bukan berarti advokat tidak kooperatif justru kalau kurang kooperatif maka advokat seharusnya menggundurkan diri dari awal, kewajiban hukum yang harus dipertanggung jawabkan advokat adalah harus menjun-jung tinggi hukum, sehingga harus dihormati, jadi apabila kliennya tidak mau datang, seharusnya advokat menyampaikan dengan baik-baik atas panggilan itu, dan itu wujud dari sikap advokat yang bertangung jawab secara hukum, jadi teknisnya begitu.
Sebenarnya tugas advokat itu kan, menjelaskan kliennya harus datang ketika ada panggilan ke Polisian, dan menjelasakan apabila kliennya tidak datang maka ada sanksinya, karena itu adalah kewajiban hukum. “Jadi jangan bicara lagi untuk dan atas nama klienya, wong dia tidak mau datang” tegas kata Deny Kailimang. kesimpulan saya bahwa advokat harus menjun-jung tinggi undang-undang sebagai profesi advokat

Minggu, 15 November 2009

Pemberian Abolisi, Konsekuensi Penegakan Hukum

Persoalan Pimpinan Non aktif KPK Chandra-Bibit, memang sanggat membingungkan publik, terutama bagi masyarakat yang memang tidak faham hukum dan tidak percaya kepada institusi POLRI. hal ini menandakan POLRI melakukan apapun dinilai tidak profesional.

Perkara Chandra-Bibit dianggap sebagai persoalan yang serius, hingga aparat penegak hukum tak kunjung-kunjung menyelesaiakan, hal ini jelas disebabkan adanya desakan dari masyarakat yang menuntut kasus Chandra-Bibit dihentikan karena dinilai Polisi tidak mempunyai bukti yang cukup. Dihentikan boleh saja tapi jangan sampai menghilangkan prosedur hukum yang ada, karena jelas negara kita adalah negara hukum (Rechstaat).

Berdasarakan hasil desakan masyarakat, Presiden membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengusut kasus tersebut, ini menandakan bahwa memang kasus ini dinilai sebagai persoalan yang serius, bahkan ditengah goncang-gancingnya hasil rekomendasi TPF, Presiden dituntut masyarakat untuk mengeluarkan ABOLISI.

Sebenarnya apa itu Abolisi? “Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut, Presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.”

Kalau disimak dari adanya abolisi ini, jelas bahwa pemberian abolisi menandakan tersangka setidaknya masih ada sangkut-paut dengan persoalan kasus tersebut, saya tidak mengarahkan kepada apa benar Chandra-Bibit melakukan perbuatan tindak pidana? Tapi kenyataanya, ketika abolisi diberikan oleh Presiden maka bisa disimpulkan untuk sementara, kedua tersangka setidaknya ada unsur melakukan tindak pidana yang baru akan diselesaikan oleh prosedur hukum yang berlaku, kemudian dengan munculnya abolisi perkara tersebut dihentikan.

Ini memang pilihan dan tututan masyarakat, yang mana sebelum adanya tutntutan ini, masyarakat menghendaki adanya “Surat Penghentian Penyelidikan Perkara” (SP3) kapan SP3 diberikan? apabila tidak terdapat cukup bukti untuk melanjutkannya, makanya penyidik memngeluarkan SP3. kenapa sampai sekarang masih berjalan? Ini berkaitan dengan adanya upaya Polisi untuk mempertahankan bukti yang dimilikinya, logika hukumnya Polisi tdiak akan mengeluarkan SP3 bilaman bukti ini masih dianggap cukup.

Hal senada juga dilontarkan oleh msayarakat kepada Jaksa untuk mengeluarkan “Deponering,” artinya adanya pembekuan perkara. Suatu kasus dihentikan/ditutup. Deponering merupakan mekanisme yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum. Jaksa agung menghentikan penyelidikan dengan alasan untuk keselamatan Negara.

Tiga komponen hukum diatas adalah benar adanya ketika dikeluarkan, dan kesemuanya memiliki konsekuensi didalam penerapan hukum, sehingga bagi instusi yang mempunyai kewenangan itu jangan samapi dijadikan alat politisasi dalam menyelesaikan perkara hukum khususnya untuk kasus Chandra-Bibit.

Kita inggat dengan kasus pembenuhan Munir pejuang HAM, persoalan itu hampir tidak tuntas pengusutanya, meskipun sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan para terdakwa bebas dari segala tuntutan hukum, artinya kalau ada good will dari pemerintah hendaknya tindak pidana pembunuhan Munir harus diusut sampai pelaku pembunuhan ditemukan bukan berheti seytelah ada putusan, tapi toh akhirnya setelah ada putusan pengadilan, kasus ini tidak jelas dibawa kemana.

Karena itu untuk kasus Chandra-Bibit, Presiden harus hati-hati mengeluarkan kebijakn yang dimilkinya, yang setidaknya bisa dikatakan dengan dikeluarkannya Abolisi, jangan lupa pada asas Equality befor the law, dengan munguapnya kasus ini, masyarakat sudah semakin tidak percaya lagi dengan penegakan hukum di Negeri ini, terutama dengan polisi yang notabene sebagai penegak hukum untuk mengusut pelanggaran dan tindak pidana.

Sabtu, 07 November 2009

Kewenangan Penyadapan KPK di Cabut??

Menjamurnya praktek korupsi di Indonesia seperti halnya kemacetan lalulintas kota Jakarta yang semakin hari semakin semerawut, polusi yang tidak henti mengrogoti kesehatan, kepenatan, tanpa adanya upaya penanggulangan. Demikian pula dengan kondisi Korupsi, korupsi yang tidak mengenal batas etika, umur, jabatan, tempat, dan batas besar kecil materi. Telah merong-rong Negara dan penindasan terhadap masyarakat.

Munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 7 tahun yang lalau berdasarkan legalitas formil Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK sebagai bentuk di kibarkanya perlawan anti korupsi dan penghisapan uang rakyat oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Secara umum praktek korupsi ini dilakukan oleh orang yang mempunyai jabatan yang istimewa di Negeri ini.

Sebelumnya beberapa anggota dewan seperti anggota Komisi III FPDIP Gayus Lumbuun, dan anggota Komisi III FPG Dewi Asmara keberatan terhadap kewenangan penyadapan KPK. Mereka menilai KPK lembaga super visi, akan memunculkan super body, artinya bisa melakukan kewenangan atas nama kekuasaannya itu. Maka perlu ada aturan perundang-undangan soal penyadapan oleh KPK. (4/11, www.inilah.com)

Bahkan Anggota Komisi III DPR dari PDIP Panda Nababan mengusulkan agar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi diamandemen, hal ini cukup menarik, ada salah satu anggota dewan yang mengaku sangat sedih melihat sepak terjang KPK yang sudah menahan puluhan pejabat negara. "Saya sedih banyak pejabat yang dipenjara," ujar anggota dewan itu. Dia mengaku tidak setuju dengan langkah-langkah KPK yang tegas melakukan penindakan. Menurutnya, lebih baik KPK lebih fokus pada upaya pencegahan.

Sanggat disayangkan pendapat para legislator kita ini, mereka kurang begitu faham dan suprem terhadap uapaya pemberantasan korupsi di negeri ini dan saya berfikir mereka ketakutan dengan sepak terjang KPK dalam memberantas korupsi, berangkat dari pengalaman penanganan kasus korupsi hampir secara besar kasus yang di usut oleh KPK adalah dari kalangan lembaga yang sanggat terhormat, sehingga jelas bahwa ada suatu indikasi ketakutan yang besar akan kewenagan yang dimiliki oleh KPK dalam UU No 30 Tahun 2009 khusunya pasal 6 Jo pasal 12 a.

Padahal kalau kita tahu lembaga yang ada di Malaysia mengenai korupsi yang diberi nama “Badan Pencegah Rasuha” akhir-akhir ini lagi lagi mempelajari sistem, kewenagan, dan mekanisme kerja KPK di Indonesia. Ini terlihat jelas di mata International bahwa KPK mempunyai bergening posisi yang luar biasa.

Kalau benar nantinya kewenagan KPK ini di amandemen hingga pada akhirnya di putuskan misalnya, di batasi maupun di cabut maka KPK akan kehilangan kewibawaannya dan kejantanannya. Kalau sudah seperti ini, buat apa lagi ada KPK mendiding di bubarkan saja dari pada menghabiskan anggaran belanja negara dan menambah beban masyarakat. Lalu mau apa?

Sabtu, 29 Agustus 2009

“Pentingnya Masa Waktu Penyidikan di dalam KUHAP"

“PentingnyaMasa Waktu Penyidikan
di dalam KUHAP"

Sejak awal keberadaanya, Kitab Hukum Acara Pidana yang biasanya disebut (KUHAP) diperuntutkan untuk melindungi masyarakat atas kesewenang-wenangan penguasa, artinya bahwa prosedur untuk penanganan criminal didalam KUHAP ini diperuntutkan untuk melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan otoriti. KUHAP ini memang diperuntukan untuk melindunggi masyarakat, dari adanya tendensi dari kesewenang-wenangan penguasa.

Hukum tidak memandang siapa pun yang sedang melakukan suatu pelangaran atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum untuk diproses sesui dengan norma yang ada (Equality Before The Law), hal ini tentunya KUHAP harus dijalankan dengan semestinya tidak berdasarkan interprestasi polisi semata, persoalan yang terajadi dalam penerapan KUHAP pada tingkat proses penydidikan adalah sadar atau tidak sadar bahwa penydidikan ini sanggat penting bagi seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, apakah dugaan itu benar atau tidak?, karena hal ini memerlukan kepastian hukum dan masa waktu yang dilakukan oleh penyidik dalam memberikan setatus hukum bagi seseorang, ini dimulai dari tingkat penydidikan, sebelum adanya proses hukum yang lain dan sampai pada pengadilan menjatuhi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Bulan maret 2009 yang lalau, terjadi penangkapan seorang Ketua KPK Antasari Azhar,tidak melihat pada persoalan atau tindak pidana yang dialami oleh beliau, tapi lebih pada segi penerapan hukum (KUHAP). bulan maret Beliau ditangkap dan ditahan dan logika hukumnya sejak dilakukan penangkapan maka polisi wajib melakukan tindakan hukum berupa penyidikan, tapi lihat saja proses yang begitu lamban diterapkan oleh polisi, hal inilah yang menjadi faktor penegakan hukum di indonesia, MENANGKAP DULU BARU MENCARI BUKTI, kalau bukti tidak cukup barudikeluarkan SP3, dan bagaimana dengan habisnya masa waktu penyidikan ini tergantung dan mengikuti pola masa waktu penahanan, ini jelas-jelas salah kaprah.

Masih banyak kasus yang lain yang mengalami hal seperti ini, misalnya proses penyidikan yang tidak dilakukan upaya penahanan rutan melainkan penahanan kota atau rumah dalam KUHAP diperbolehkan akan tetapi hanya kasus-kasus yang diancam 5 tahun kebawah, maka proses penyidikanya tidak ada kepastian hukumnya kapan itu selesai dan bagaimana setatus orang yan di duga melakukan tindak pidana dan jelas kasus semacam ini terkatung-katung di kepolisisan, hal ini sudah jelas bahwa KUHAP tidak diterapkan sebagaimana mestinya, untuk melindungi masyarakat kecil.

Pentingnya Masa Waktu Penyidikan
Seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan penangkapan, lihat pasal 17 KUHAP. Setelah adanya penangkapan perbuatan hukum yang dilakukan oleh polisi adalah melakukan penyidikan, dan hal ini tentunya polisi juga melakukan perbuatan hukum kembali dengan cara melakukan penahanan kepada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, penahanan yang dilakukan oleh penyidik terbatas waktunya misalnya: untuk penahanan tahap awal polisi dapat melakukan penahanan selama 20 hari dan ditambah kembali oleh jaksa selama 40 hari (pasal 24 KUHAP).

Didalam KUHAP tidak ada aturan yang sepesifik dan tegas mengatur mengenai perbuatan hukum yang dilakukan oleh polisi mengenai masa waktu dilakukan penyidikan terhadap seseorang yang di duga keras melakukan tindak pidana, sehingga tidak jarang penyidikan yang dilakukan oleh polisi bisa berbulan-bulan, dan batas waktu penyidikan logika hukumya mengikuti masa waktu dilakukan penahanan, bagaimana kemudian ketika seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana tidak dilakukan upaya penahanan oleh kepolisian?

Dalam KUHAP dikatakan bahwa Pasal 8 ayat (3) b. “dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum”. Jo pasal108.109. 110. Kapan dimulai, berapa lama dan selesainya proses penyidikan oleh polisi hal ini tidak diterangkan secara sepesifik mengenai masa waktunya,selesainya penyidikan hanya berpedoman bahwa seluruh bukti materiil sudah dipenuhi maka penyidikan pun dianggap selesai dan kemudian dilimpahkan kepada penentut umum. Bahwa hal ini jelas-jelas KUHAP tidak mempunyai roh bahwa pelaksanaan penegakan hukum bersifat cepat dan menjamin hak-hak seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana.

Tidak adanya suatu kepastia hukum dalam proses penyidikan mengakibatkan bergantungnya suatu penyidikan yang lamban, dan halini kerap kali posisi seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana setatusnya terkatung-katung, dan prosesnya biasanya berbulan-bulan. Meskipun tidak jarang proses penyidikan ini kerap kali sanggat cepat tapi untuk kasus yang tidak jelas pula. Artinya tidak ada setandart yang jelas di dalam KUHAP mengenai waktu masa penyidikan.

Perbedaan Proses Penyidikan KUHAP Dan RUU KUHAP
No
KUHAP
RUU KUHAP
1
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Penyelidikan
Pasal 11
(1)Penyidik yang mengetahui, menerima Laporan, atau Pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana dalam waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak mengetahui, menerima Laporan, atau Pengaduan tersebut wajib melakukan tindakan Penyidikan yang diperlukan.
2
Penyidikan
Pasal 108
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
PEMBUATAN BAP
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Penyidikan
.Pasal 12
(1) setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau menjadi Korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak mengajukan Laporan atau Pengaduan kepada Penyidik baik secara lisan maupun secara tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum, jiwa, atau hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada Penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak pidana, wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada Penyidik dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut.
(4) Laporan atau Pengaduan yang diajukan secara tertulis kepada Penyidik harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau Pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh Penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan Penyidik.
(6) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak bisa baca tulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam Laporan atau Pengaduan tersebut.
(7) Setelah menerima Laporan atau Pengaduan, Penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan Laporan atau Pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan Penyidikan suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan tentang dimulainya Penyidikan tersebut kepada Penuntut Umum dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak dimulainya Penyidikan.
(2) Dalam melaksanakan Penyidikan, penyidik berkoordinasi, berkonsultasi dan minta petunjuk kepada Penuntut Umum agar kelengkapan berkas perkara dapat segera dipenuhi baik formil maupun materiel.
Pasal 14
Dalam hal penyidik menemukan bahwa perkara yang ditangani tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana atau Penyidikan dihentikan demi hukum, penyidik dengan persetujuan Penuntut Umum menghentikan Penyidikan dengan memberitahukan penghentian Penyidikan tersebut dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak tanggal penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum, Tersangka, pelapor, Korban, atau keluarganya.
TERTANGKAP TANGAN Pasal 16 RUU KUHAP ayat (2) Setelah menerima penyerahan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penyidik dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari terhitung sejak diterimanya penyerahan Tersangka wajib melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka Penyidikan
PEMBUATAN BAP
Pasal 26
“Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari membuat berita acara pemeriksaan yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal Tersangka dan/atau Saksi, keterangan, catatan mengenai akta atau benda, serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara”.
Pasal 27
Dalam hal Tersangka ditahan, dalam waktu 1 (satu) hari setelah perintah Penahanan itu dijalankan, Tersangka harus mulai diperiksa oleh Penyidik.


Kalau dilihat dalam RUU KUHAP bahwa proses penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik setelah menerima laporan/aduan dari seseorang yang melihat dugaan terjadinya suatu tindakan yang diduga keras perbuatan tindak pidana makapen yelidik dalam jangka 2 x 24 wajib melakukan penyelidikan.Dan untuk tindak pidana yang tertangkap tangan Penyidik melakukan penyelidikan 1 x 24 jam.

Sedangkan untuk proses penyidikan, polisi sejak menerima laporan/pengaduan tentang dugaan terjadinya tindak pidana dari seseorang maka proses penyidikan dalam jangka 2 x 24 jam hasil penyidikan yang telah selesai wajib disampaikan kepada penuntut umum. Jika belum lengkap, paling lambat 7 hari PU harus mengembalikan bekas ke penyidik, dan 7 hari kemudian harus ada penyidikan tambahan.Penyidikan dianggap selesai jika 14 hari PU tidak mengembalikan ke penyidik.Artinya bahwa secara sepesifk di dalam RUU KUHAP mengatus mengenai masa waktu dilakukan penyidikan dan hal ini diharapkan adanya suatu kepastian hukum bagi seseorang yang di duga keras melakukan tindak pidana sehingga proses pengannanya pun di harapkan tidak terkatung-katung sampai berbulan-bulan.

Minggu, 23 Agustus 2009

Keputusan Menteri No. 204 Tahun 1999 ”Sebagai Alat Penghisapan Buruh Migrant”

Keputusan Menteri No. 204 Tahun 1999
”Sebagai Alat Penghisapan Buruh Migrant”

Kita sering mendengar istilah (TKI) atau Tenaga Kerja Indonesia yang biasa disebut denganBuruh migrant adalah setiap orang yang berkerja diluar negeri dan berdasarkanperijinan yang sah (legal) mapun tidak sah (ilegal) yang mengadu nasib/bekerjadi luar negeri, begitulah sebutannya, dan hampir 7000 ribu penduduk indonesiabekerja disana, sehingga ini menjadikan adanya niatan pemerintah dalam membuatkebijakan untuk mempermudah keberangkatan para buruh migrant dengan sebuahproduk hukum berupa Keputusan Menteri No. 204 tahun 1999 tentang Pemulangan TKIdi terminal khusus/ terminal III yang di anggap sebagai kebijkan yang populisterhadap para buruh migran, akan tetapi kebijakan itu menjadikan buruh migransemakin terdolimi/tertindas oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,pasalnya kebijkan itu dimaksudkan agar Pemerintah mudah mengkontrol terhadap buruhmigran ketika berangkat dan pulang dari negara tujuan, akat tetapi implementasikepmen tersebut tidak teralisasi dengan maksimal sehingga tidak disadari olehpara pembuat kebijakan bahwa sebenarnya kepemen itu di jadikan oknum sebagaialat penghisapan buruh migran, kenapa tidak? Semakin terkoordinirnya buruhmigrant dalam perjalanan untuk memperjuangkan kesejahteraannya di negra orangdan itu dilakukan dalam satu pintu maka oknum lebih mudah untuk melakukanpenghisapan misalnya pemungutan liar, pencaloan transportasi dengan carapemaksaan.

Bahwa keberadaan terminal khusus di munculkan pada waktu era pemerintahanBJ Habibi pada tahun 1998 lalu, yang memunculkan kebijakan pembuatan terminalkhusus melalui Kepmen No. 204 tahun 1999 dan kepmen ini di berlakukan tanggal31 agustus 1999, hal ini diasumsikan bahwa Teminal khusus dioperasikan daritahun 1999-2008 kurang lebih 10 tahun beroperasi belum juga ada mekanisme yangterintegrasi di Terminal III bagi buruh migran yang sedang bermasalah. Judul artikeldiatas tepat sekali dalam melihat praktek atau kejahatan yang terorganisir diTerminal khusus yang sejak tanggal 18 maret 2008 diubah dengan wajah baru yangdinamakan Gedung Pendataan Kepulangan TKI (GPK TKI) yang berada di Jln. Marsekal Suryadarma Kec. Neglasari Tangnerang, memangbenar gedung dirubah dengan banguanan yang kokoh, dan mengeluarkan biaya yangmahal, sehingga harapanya adalah sistem atas perubahan itu juga diperbaiki.Harapan tinggal harapan seperti halnya keluarga buruh migran yang sedangmenanti kedatangan keluarganya, praktek yang terjadi disana bukan padapeningkatan mutu pelayanan bagi kepulangan buruh migran yang lebih berkualitas,namun sebaliknya peningkatan pemerasan, banyaknya pungli, biaya mahal, dan yangpaling fundamental adalah kurangnya jaminan pelindungan hukum bagi buruhmigran, serta pelayanan yang baik, hali ini dirasakan semua buruh migran ketikapulang dari negara tempat bekerja dan harus melawati gedung ”Pemerasan”Neraka bagu buruh migran indonesia.

Ketika kita membayangkan tentang terminal khusus bagi kepulangan TKI kita akanbertanyak-tanyak tentang terminal tersebut, akan tetapi didalam pikiran kita pastiakan bertanyak, masihkah terjadi praktek-praktek pemungutan disana?, apakahmasih ada buruh migran yang terlentar disana?, masih adakah perlakuan yangdiskriminatif disana?, Apakah polisi masih malakukan pemungutan disana?, Masihadakah pungutan yang dilakukan oleh sopir angkutan tenaga kerja indonesia danpungutan porter di gedung pendataan.Begitulah pertanyaan yang pasti kita ucapkan untuk melihat Gedung PendataanKepulangan TKI (GPK TKI). Fenomena ini tidak lagi menjadi hal yang tabu lagi diIndonesia dan khusunya bagi buruh migrant, karena hal itu sudah menjadia halyang biasa terjadi didalam gedung yang megah, indah seperti istana.

Dibalik kemiskinan dan krisis yang tidak ada ujung-ujungnya masyarakatIndonesia berjuang untuk mempertahankan kehidupan dan perekonomianya dengancara menjadi buruh migrant di beberapa Negara, hal ini di dasarkan pada ketidaksiapan, kemampuan dalam memberikan lapangan pekerjaan yang layak bagimasyarakat, apa yang tertuang dalam UUD’45 pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” pasal ini adalah bentuk kewajiban Negara untukdiberikan kepada masyarakat, namun sampai sekarang belum maksimal. Angkakemiskinan di indonesia pada tahun 2007 sebanyak 37, 17 juta jiwa dan padatahun 2008 34. 96 juta jiwa, ya pantas kita kasih apresiasi terhadap pemerintahakan tetapi harus tetap di inggat bahwa pengagnguran masih banyak di negra ini,sehingga banyak warga negara ini berjuang dinegara tetangga untuk kelangsunganhidupnya menjadi buruh migran.

Kenyataanya sanggat pahit memang, kurangnya perhatian negara, kurangnyaperlindungan negra, tapi kalau boleh dibilang ...”masyarakat kita lebih nyamanketika bekerja disana”.. tapi ada sebagian juga yang merasa tidak aman kerjadinegara orang, ya semua hal ini disebabkan ketidak pedulian pemerintah saja, Jauh dari sana, buruh migran dengan wajah gembira, kesal, susah, menagis,dll. Berusaha untuk pulang kenagara asal dengan harapan bisa bertemu dengankeluarga dan tetangga, tapi jangan bilang mudah untuk itu, mulai daripemebrangkatan aja sudah memerlukan pengluaran yang banyak untuk prosesditerminal, sampai pada kepulangan yang katanya mendapatkan fasilitas yang ”Wah”tapi kata itu benar juga, wah atas pemerasannya, wah atas penghisapanya, wahatas perlakuan yang diskriminatif dan banyaklah ”wah..wah....

Lihat saja setelah pesawat take of buruh migran langsung digiring sepertiayam kampung yang bodoh, memang paradikma yang terbangun seperti itu, darisitulah yang tadi dikatakan diatas mengenai ”Wah” mulai aksi, mulai daripengankutan barang ke bus di terminal 2 harus mengeluarkan uang, penurunanbarang dari bus terminal 3 keluar uang lagi, ada lagi biaya ambil barang diterminal 3, dan harga pemungutan befariasi tergantung kesukaan para oknum,cukup sudah penderitaan buruh migran kita, tapi jangan bilang selesai disanamasih ada babak baru yang sanggat dramatis, adanya proses yang diskriminatifterhadap buruh migran, adanya pelecehan bagi buruh migran wanita, adanyapembiayaran bagi buruh migran yang tidak mempunyai ongkos, dan kurangyapenanganan bagi mereka yang sakit mulai dari fisik, pesikis semua bentuk-bentukitu adalah wujud dari kriminalisasi akibat perlakukan yang tidak wajar olehpemakai jasa. Denganpermaslahan seperti ini maka kepmen tersebut harus dicabut/hapus...!!!

Jumat, 21 Agustus 2009

NO PAY NO PROTECTION

NO PAY NO PROTECTION
“Untuk kaum buruh”

Kemiskinan dan ketimpangan sosial adalah merupakan isu sentral dalam perumusan dan pembuatan kebijakan sosial (Sosial policy), untuk menuntaskan persoalan kemiskinan dan penimpangan sosial, pemerintah membuat kebijakan jaminan sosial (social security) bagi masyarakat, hal ini sejalan dengan konsep bahwa Jaminan sosial merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945, pasal 28 H ayat (3) “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Jo Pasal 34 ayat (2) “Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, hal inilah yanh katakan dalam konstituis indonesia Yang memberikan jaminan bagi seluruh warga untuk mendapatkan “jaminan sisoal” (social security), apakah demikian yang tejadi?

Hak untuk mendapatkan jaminan sosial juga diatur dalam pasal 22 jo pasal 25 Universal Declaration of Human Rights 1958, pada saat perumusan DUHAM 1948 indonesia turut serta menandatanggani, oleh sebab itu sebagai negara yan tergabung dalam Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) maka seyogyanya pemerintah wajib menjunjung tinggi dan menjalankan aturan international tersebut.

Secara filosofi, jaminan sosial ini penting diselengarakan, Alasan utama yang melandasi mengapa jaminan sosial perlu diberikan kepada warga negara adalah karena selain jaminan sosial dapat melindungi warganya dari resiko-resiko yang tidak terduga, juga karena jaminan sosial secara ekonomi maupun sosial tidak merugikan baik kepada penyelenggara maupun penerima pelayanan. Jaminan sosial bukanlah pengeluaran publik yang sia-sia.Melainkan sebuah bentuk investasi sosial yang menguntungkan dalam jangka panjang yang dilandasi oleh dua pilar utama, yakni redistribusi pendapatan dan solidaritas sosial (Spicker, 1995:58-60).

Bahwa setidaknya jaminana sosial adalah merupakan bagian dari pada kebijakan sosial yang dikembangkan pemerintah atau suatu negara guna sebagai tujuan adanya; suatu kebijakan sosial, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan satnadrt hidup rakyat. Hal inilah kurang lebih yang inggin dicapai dalam kebijakan jaminan sosial.

Sistem jaminan sosial yang kita lihat di indonesia, apakah sudah mengarah kepada tujuan yang disebutkan diatas, dalam kebijakannya memang jaminan sosial ini dilakukan secara bertahap artinya program ini berkelanjutan dari perencanaan jangka pendek sampai pada perencnaan jangka panjang, namun kita tidak mengetahui barometer keberhasilan dari program pemerintah ini, jadi persoalanya adalah;

Bagaimana Negra bertanggung jawab dalam pemenuhannya?

Jaminan sosial merupakan hak dasar warga negara yang harus di berikan oleh negara , maka hasil Putusan Sidang MPR RI tahun 2001 menugaskan kepada Presiden “untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”. Untuk itu Presiden mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional. Presiden dengan Kepres No. 20 tahun 2002 membentuk Tim SJSN. Kepres ini didahului dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, semasa Ibu Presiden sebagai Wakil Presiden.[2] Dan Pada Tanggal 19 Oktober 2004 dibuat Undang-undang No. 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Pasal 1 angka 1 UU No. 40/2004 mengatakan; Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dan pasal 1 angka 2 mengatakan; Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial.

Jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Program-program pokok SJSN yang akan dikembangkan disesuaikan dengan konvensi ILO No. 102 tahun 1952 yang juga diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK), Program Jaminan Hari Tua (JHT), Program Pensiun, dan Program Santunan Kematian.

Bahwa Persoalan UU No 40/2004 adalah sejak diauat sampai sekarang ini kurang lebih 5 tahun berjalan belu di keluarkan aturan pelaksanaanya, sehingga aturan ini hanya sebatas kertas yang bertuliskan coretan tinta semata, tidak mampu membuat perubahan terhad sistem jaminan nasional ini menuju pada siste jaminan yang bersifat waliamanah, dan memang UU ini mungkin dalam pelaksanaanya menuai beberapa persoalan politik antara para pemilik modal dengan pemerintah.

Bahwa kebijakan jaminan sosial pemerintah ini tidak semata-mata berifat gratis, tentunya masyarakat indonesia harus membayar mahal sebagai bentuk kontribusi untuk mendapatkan jaminan sosial ini, dan tentu yang tidak membayar kontribusi tidak akan mendapatkan program jaminan sosial ini dan bisa dikatakan bahwa “NO PAY NO PROTECTION” ini lah sistem jaminan sosial di indonesia. Ini sanggat berbeda dengan negara yag menganut sistem Walfare State yang sanggat mengutamakan kesejahteran bagi rakyatnya dan jaminan sosial ini telah dikafer oleh pemerintah melalui sistem pembiayannya dengan hasil tabungan negara.

Salah satu contoh bentuk Secara nyata bahwa sistem jaminan sosial yang dirasakan oleh kelas pekerja adalah kontribusinya dipangkas secara langsung dari upah buruh untuk masuk kedalam program Jamsostek, pada fakta yang nyata bahwa ketika buruh diikutsertakan dalam program Jaminan kesehatan maka setiap perusahaan yang ada sanggat farian mengenai besar jaminan yang didapatkannya, hal ini yang mengakibatkan bahwa buruh semakin lama semakin tertindas untuk memperoleh haknya saja tidak cukup hanya membayar hasil keringatnya dengan sistem kerja yang tidak jelas.

Kenapa jaminan sosial ini dapat terwujud di dalam negara berkembang, tentunya faktor-faktor ini sanggat mempengaruhi terselengarakannya jaminan sosial yaitu;
  1. Perkembangan tingkat sosial ekonomi masyarakat;
  2. Mobilisasi politik kelas pekerja dan klompok menengah;
  3. Pematangan sistem demokrasi;
  4. Berkembangnya sistem demokrasi, pengelola yang cakap, independen, transparan dan akuntabilitas.
Bahwa ke empat poin diatas sanggat menentukan tingkat keberhasilan siatu jaminan sosial itu dapat dirasakan oleh masyarakat, hal ini juga ditandai dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang selalu dinamis sehingga dalam perwujudanya menandakan bahwa pemerintah telah berhasil dalam mewujudkannya, dalam hal itu sanggat erat kaitanya dengan peran dan fungsi suatu politik kelas pekerja dalam mendorong pemerintahnya untuk mewujudkan jaminan sosial, karena pada dasarnya politik kelas pekerja hanya meneuntut tanggung jawab suatu negara untuk menjalankan kewajbinya sebagai sebuah negara yang mengayomi kesejahteraan masyarakat, bagaimana dengan indonesia yang dalam batang tubuh konstitusi mengakui adanya sebagai negara yang menganut sistem Walfare State.